Dok. Bethany Beck/Unsplash
Tentunya tak ada seorang pun yang berharap akan menjadi orang tua tunggal. Menjadi orang tua yang lengkap dengan pasangan saja sudah jadi tugas yang berat, apalagi jika harus menjalankan tugas tersebut tanpa bantuan pasangan. Belum lagi, anak akan terkena dampaknya dengan berpisahnya kedua orang tua mereka.
Kendati demikian, menjadi orang tua tunggal bukanlah akhir dari segalanya. Walau memang akan menghadapi tantangan yang berat dengan melakukan peran ganda sebagai ibu dan ayah sekaligus, namun dengan pemikiran yang matang akan sedikit banyak membantu dalam melewati berbagai macam rintangan yang ada.
Misal saja soal menjelaskan kepada anak ketika ia akhirnya hanya tinggal dengan salah satu orang tuanya saja. Menurut Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si, Psikolog Anak dan Keluarga dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI, ada perbedaan menjelaskan orang tua yang bercerai atau meninggal.
“Bercerai itu perlu dijelaskan pada anak sebelum perceraian dilakukan,” jelas wanita yang akrab dipanggil Nina ini. Ditambahkan oleh Nina bahwa memberitahukan anak perihal ini sangat tergantung dari usia dan tingkat pemahaman anak.
Kalau anak masih terlalu kecil, tunggu sampai anak cukup mengerti dengan apa yang dijelaskan atau menunggu sampai anak bertanya pada orang tuanya. Biasanya penjelasan tersebut bisa dilakukan saat anak berusia 3 tahun atau jika anak sudah bertanya mengapa orang tuanya tidak seperti orang tua pada umumnya yang selalu bersama.
Anak yang sudah beranjak besar mungkin sudah bisa merasakan adanya ketidakrukunan antara kedua orang tuanya. Jika memang seperti ini, menurut Nina, jelaskan pada anak bahwa kedua orang tuanya akan bercerai dan tidak tinggal bersama lagi.
“Namun jelaskan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami anak. Sampaikan juga kendatipun mereka sudah tidak tinggal bersama, anak tetap bisa menghubungi atau bertemu dengan orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh tersebut,” tambah Nina mengingatkan untuk tetap membuka akses untuk anak menemui orang tuanya. Katakan juga pada anak bahwa kedua orang tuanya tetap mencintai anak dan perpisahan tersebut bukan karena dirinya, sehingga ia tetap merasa diharapkan dan dicintai.
Bagi beberapa orang tua tunggal tetap menjalin hubungan yang baik dengan mantan pasangan, dengan membuka akses anak untuk menghubungi atau menemui orang tuanya, memang kadang sulit terjadi. Apalagi jika proses berpisahnya tak baik, maka biasanya anak jadi sulit untuk bertemu atau menghubungi orang tuanya yang lain.
Pada kasus-kasus ekstrim yang Nina tangani, bahkan ada beberapa orang tua yang telah berpisah, yang memutuskan segala akses bagi anaknya untuk bertemu atau bahkan mengenal orang tuanya yang lain. Misal seperti menyingkirkan foto mantan pasangan atau bahkan mengatakan bahwa ayah atau ibu yang tidak mendapatkan hak asuh tersebut telah meninggal dunia. Tak jarang pula ada yang memberikan citra diri yang buruk tentang mantan pasangannya kepada si anak, dengan cara mencaci maki atau menggambarkannya sebagai orang yang jahat atau tidak baik.
“Jika hal ini terjadi, hal yang diingat oleh si anak mengenai orang tuanya yang satu lagi itu hanyalah kenangan-kenangan buruknya saja. Dia sendiri jadi kesulitan nantinya untuk menjalin hubungan dengan laki-laki atau wanita lainnya,” tutur Nina mengingatkan. Padahal anak tetap membutuhkan komunikasi yang baik dengan orang tuanya agar tidak kehilangan figur ayah atau ibu.
“Usahakan menjalin hubungan yang lebih positif dengan mantan. Mungkin agak sulit jika hubungan pernikahan tersebut berakhir dengan tidak baik-baik, namun jika berangsur-angsur memperbaiki relasi tersebut, tentunya akan jauh lebih baik bagi perkembangan anak kelak,” ujar Nina mengingatkan.
Jika memang hal tersebut tidak memungkinkan, misalnya karena pasangan meninggal dunia, menurut Nina agar anak tidak kehilangan figur ayah atau ibu, maka perlu menghadirkan sosok yang bisa menggantikannya.
Ada tiga figur idola yang dibutuhkan oleh anak. Wanita dewasa, pria dewasa dan keluarga yang harmonis. Jika orang tua tidak bisa menyediakan dari dirinya sendiri, maka cari orang lain yang kita anggap dekat (seperti paman, bibi atau kakek dan nenek) dan pasangan yang punya interaksi yang positif. Jadi anak punya cerminan bahwa di luar sana juga ada keluarga yang bahagia.
Perlu diketahui bahwa figur keluarga sangat penting. Anak perlu percaya, kendatipun orang tuanya tidak bersama (karena berpisah), keluarga bahagia itu tetap ada. Dari sebuah keluarga yang bahagia, anak bisa belajar tentang cara berinteraksi dengan orang lain. Baik itu cara berkomunikasi ataupun dalam menyelesaikan masalah.
“Hadirnya figur-figur ini akan berguna agar anak tidak trauma menjalin hubungan atau membangun keluarga di masa depan,” ujar Nina.
Hal lain yang menjadi tantangan bagi orang tua tunggal adalah ketika mereka berusaha membangun hubungan percintaan yang baru dengan orang lain. Selalu timbul kekhawatiran bahwa anak tidak akan menerima kehadiran orang baru ini yang akan menggantikan ayah atau ibu kandung mereka.
Menurut Nina, penting bagi para orang tua tunggal untuk menunggu momen yang tepat mengenalkan orang baru pada anak-anak. Apalagi jika anaknya masih kecil, tidak perlu langsung dikenalkan. Mantapkan dulu hubungannya tanpa harus melibatkan anak. Jika hubungannya sudah lebih mantap dan yakin, baru anak diperkenalkan dan berinteraksi langsung dengan orang tersebut.
“Saya sering menemukan bahwa banyak orang yang hubungannya belum mantap-mantap amat, tapi sudah dikenalkan dengan anak. Hal yang terjadi adalah, baru berhubungan putus, dan terus berulang. Ini akan jadi membingungkan untuk si anak. Saran saya, jalin dulu hubungan tanpa harus melibatkan anak. Kalau sudah lebih mantap, baru anak dilibatkan,” saran Nina.
Ia pun mengingatkan bahwa hubungan re-marriage membutuhkan persiapan yang lebih panjang karena ada lebih banyak variabel yang dipertimbangkan dibandingkan pernikahan pertama. Salah satunya adalah kesiapan mental anak dalam menerima kehadiran orang baru.
“Jangan terburu-buru. Tunggu hingga anak memiliki mental yang lebih siap,” tambahnya.
(*) Artikel ini juga pernah dipublikasikan di Majalah Femina - Februari 2019.
Comments