Dok. Volkan Olmez / Unsplash
Tuntutan sosial, kehadiran media sosial hingga lingkungan sekitar yang tak mendukung memberikan tantangan ekstra keras pada para remaja era kini. Dampaknya, memengaruhi kesehatan mental para generasi muda kini yang memberikan ancaman terburuk untuk ingin bunuh diri.
Apa penyebabnya? Apa yang bisa kita lakukan untuk memproteksi para generasi penerus bangsa?
Kerentanan Anak Remaja
Dalam sepuluh tahun terakhir, masalah kesehatan mental menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi generasi muda saat ini. Mereka menjadi lebih rentan mengalami stres dan depresi meskipun usianya masih terbilang muda. Bahkan buruknya lagi, menurut laporan global Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tingkat bunuh diri pada anak muda meningkat hingga 56 persen dari tahun 2007 sampai 2016.
Bagaimana dengan di Indonesia? Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, dokter spesialis kedokteran jiwa sekaligus mantan anggota DPR 2014 - 2019, melakukan sebuah penelitian tentang ide bunuh diri pada remaja. Penelitian terhadap 910 pelajar SMAN dan SMKN berakreditasi A di Jakarta ini menunjukkan bahwa 5 persen pelajar memiliki ide bunuh diri.
Sebelum melakukan penelitian untuk disertasi Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia ini, Nova sudah lebih dulu melakukan penelitian pendahuluan dengan Kementerian Kesehatan di tahun 2015 sampai 2016. Dari hasil tersebut ditemukan bahwa remaja berpotensi mengalami gangguan depresi (30 persen), memikirkan bunuh diri tetapi tidak akan melakukannya (19 persen) dan keinginan untuk bunuh diri (1 persen).
Maka jika dibandingkan dengan penelitian terbaru yang diumumkan pada Juli 2019 lalu, dapat dilihat peningkatan keinginan untuk bunuh diri pada anak remaja. Pelajar yang terdeteksi memiliki faktor risiko bunuh diri kecenderungannya 5,39 kali lebih besar mempunyai ide bunuh diri dibandingkan pelajar yang tidak berisiko bunuh diri.
Di tanah air sendiri, tak banyak penelitian lain yang bisa menunjukkan tentang kecenderungan bunuh diri pada remaja. Padahal, remaja adalah golongan paling rentan untuk melakukan upaya bunuh diri. Seperti pemaparan D.MN. Paperny dalam Handbook of Adolescent Medicine and Health Promotion (2011) bahwa fase middle adolescence (14 - 18 tahun) adalah fase yang rentan karena remaja berpikir secara abstrak tapi juga memiliki keyakinan tentang keabadian (immortality) dan kedigdayaan (omnipotence) sehingga mendorong timbulnya perilaku risk taking.
Pernyataan Paperny juga sejalan dengan catatan World Health Organization (WHO) di tahun 2016 yang menyatakan bahwa kematian pada remaja laki-laki maupun perempuan di usia 15-19 tahun salah satunya disebabkan oleh tindakan menyakiti diri sendiri. Dan bunuh diri menjadi penyebab kedua kematian pada mereka yang berusia di antara 15 - 29 tahun.
“Sedangkan di Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013, pada remaja usia 15 tahun ke atas, keinginan bunuh diri sebesar 0,8 persen pada remaja laki-laki dan 0,6 persen pada remaja perempuan. Keinginan untuk bunuh diri juga lebih banyak terjadi di daerah perkotaan daripada di desa,” tambahnya.
Sementara itu, menurut data dari Global School-Based Student Health Survey (2015) di Indonesia terhadap 10.837 siswa SMP dan SMA menunjukkan bahwa ide bunuh diri remaja perempuan (5.9 persen) lebih besar dibandingkan remaja laki-laki (4.3 persen). Namun, percobaan bunuh diri pada remaja laki-laki (4.4 persen) lebih tinggi daripada perempuan (3.4 persen).
Lebih lanjut, dari penelitian tersebut juga terungkap bahwa para siswa ini memiliki ide untuk bunuh diri (5.2 persen), sudah memiliki rencana untuk bunuh diri (5.5 persen) dan sudah melakukan percobaan bunuh diri (3.9 persen).
Hanya saja sayangnya, menurut Nova, penelitian yang dilakukan sejumlah pihak tak bisa menggambarkan situasi yang sebenarnya. Seperti fenomena puncak gunung es, yang mana angka yang terdata bisa jadi hanya sebagian kecil dari peristiwa yang terjadi.
“Maklum saja, selama ini orang memberikan stigma pada mereka yang memiliki masalah kesehatan atau melakukan bunuh diri, sehingga masyarakat malu untuk melaporkan hal ini makanya tidak terdata dengan tepat,” tutur Nova.
Tekanan Internal dan Eksternal
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nova, ada beberapa faktor risiko ide bunuh diri pada remaja. Beberapa di antaranya adalah pola pikir abstrak yang menimbulkan perilaku risk taker, sifat agresif dan impulsif, memiliki riwayat gangguan jiwa, hingga lingkungan sosial yang tidak mendukung.
Psikolog Anak dan Keluarga dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si, setuju dengan hal tersebut. Lebih detail, menurut wanita yang juga akrab dipanggil Nina ini ada faktor internal dan eksternal dapat memengaruhi keinginan untuk bunuh diri pada remaja.
“Dari sisi internal, bisa saja anak ini punya kepribadian atau kondisi pribadi yang bisa mengarah ke sana. Misalnya cenderung impulsif, yang mana ia bisa tiba-tiba terpikirkan untuk bunuh diri. Selain itu juga memang karena dia punya depresi yang semakin meningkatkan risiko,” jelas Nina ini.
Temuan Nova juga menunjukkan bahwa anak remaja yang memiliki ide untuk bunuh diri ini tak harus memiliki masalah kejiwaan terlebih dahulu. Beberapa kecenderungan anak-anak untuk melakukan bunuh diri ini hanya karena ingin coba-coba saja.
Menurut Nina, hal ini sangat mungkin terjadi. Pasalnya, salah satu faktor risiko internal adalah impulsivitas.
“Anak remaja memang sangat impulsif, karena mereka secara hormonal naik turun, berubah-ubah. Jadi terkadang, jika sedang ada tren, dia langsung ingin mengikuti,” papar Nina.
Nina percaya bahwa sebenarnya impulsivitas bisa menjadi hal yang baik jika mengarah pada hal positif. Namun akan berbahaya jika spontanitas tersebut mengarah pada hal yang negatif, salah satunya mencelakai diri sendiri hanya karena melihat teman-temannya melakukannya.
Faktor eksternalnya, bisa jadi karena relasi antara orang tua yang bermasalah. Misal seperti terus bertengkar, tak dapat dukungan, hingga hubungan orang tua - anak yang buruk. Relasi dengan teman-temannya juga punya pengaruh yang besar, misalnya seperti dirundung oleh teman-temannya, juga bisa mendorong anak untuk melakukan bunuh diri jika dia tidak kuat menghadapinya. Selain itu, sejarah kekerasan fisik, verbal maupun seksual yang dialami oleh anak juga dapat memengaruhi.
Di era yang serba digital, dimana media sosial menjadi bagian terpenting dalam kehidupan para remaja, memberikan tantangan lebih pada generasi muda dalam menghadapi masalah kesehatan mental. Menurut Nina, terkadang kompetisi jumlah likes atau kecenderungan untuk selalu memiliki ‘citra positif’ di media sosial menjadi beban mental bagi para remaja.
Terlebih lagi di media sosial kadang bersifat anonim. Orang bisa dengan bebas memberikan komentar buruk atau negatif sehingga terjadi cyber bullying, tanpa harus mengungkapkan identitas diri.
“Kalau orang dewasa kan bisa lebih bijak menanggapi hal ini, mereka bisa lebih cuek. Kalau anak-anak bisa menganggap hal ini serius, yang membuat mereka lebih stres atau depresi,” papar Nina. Walau tak bisa dikatakan menjadi faktor tunggal penyebab remaja ingin bunuh diri, namun media sosial bisa menjadi salah satu stressor.
Hal ini juga pernah dibahas oleh Nova, bahwa dengan semakin mudahnya anak-anak jaman sekarang mendapatkan akses untuk berekspresi dan kreatif justru menantang anak-anak untuk harus menonjol.
“Angka kekecewaan terhadap ekspektasi tinggi di kalangan remaja. Ketika apa yang mereka ekspektasikan tidak terjadi, bisa jadi membuat mereka merasa frustrasi. Maka anak-anak ini perlu mengetahui bagaimana manajemen ekspektasi,” papar Nova.
Terkadang tanpa kita sadari, menurut Nova, orang tua atau keluarga lah yang justru memberikan tekanan negatif pada anak. Misalnya saja seperti membandingkan anaknya dengan anak lain yang dianggap lebih baik atau lebih berprestasi.
“Hal ini membuat percaya diri anak jadi drop. Merasa dirinya tak berarti, menjadi beban bagi keluarganya atau tak bisa membanggakan orang tuanya. Hal ini bisa menjurus ke depresi,” papar Nova.
Pertolongan untuk Generasi Penerus
Mengenali tanda-tanda anak remaja memiliki keinginan untuk bunuh diri sangat terlihat samar.
“Tandanya bisa tipis-tipis saja, kadang tak terlalu terlihat dengan jelas,” papar Nina. Hal ini juga diamini oleh Nova yang menurutnya remaja yang memiliki ide bunuh diri tak melulu muncul dengan gejala-gejala yang berhubungan dengan kejiwaan.
Terlebih lagi, kadang keluarga atau orang tua memiliki kesibukan sendiri, yang membuat tak punya energi untuk memerhatikan perubahan yang terjadi pada anak. Hal ini semakin membuat sulit untuk mendeteksi apakah seorang remaja memiliki risiko bunuh diri.
Namun Nina mengingatkan bahwa tanda-tandanya dapat terlihat dengan terjadinya perubahan pola makan, pola tidur, perilaku menjadi sedih atau murung, menarik diri, malas untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dulunya digemari, psikosomatis, hingga nilai akademis yang menurun.
“Terkadang ada juga yang menunjukan tanda seperti tulisan atau gambar di buku catatan anak yang menandakan keinginan untuk bunuh diri, seperti gambar pisau atau tulisan ‘aku ingin mati’. Ini yang penting untuk dipantau oleh orang tua atau keluarga di sekitarnya,” tambah Nina.
Biasanya, sebagian orang menganggap bahwa perubahan perilaku yang dilakukan oleh para remaja hanyalah bentuk ‘cari perhatian’. Namun menurut Nova dan Nina penting untuk orang tua dan keluarga menanggapinya dengan tepat agar tidak berakhir buruk.
Nina menyarankan untuk para orang tua yang sudah menangkap tanda-tanda adanya perubahan perilaku agar menjalin hubungan yang baik dengan anak-anak remaja ini.
“Bisa ngobrol-ngobrol atau sekadar santai-santai tanpa harus bicara hal yang serius. Hal yang penting adalah di saat mereka patah semangat, tunjukkan bahwa kita ada untuk dia,” tutur Nina.
Ditambahkan olehnya bahwa ketika sang anak sedang bercerita, jangan menghakimi ataupun menyalahkan. Karena yang dibutuhkan adalah simpati dan empati. Jangan lupa untuk menawarkan bantuan kepadanya jika ia menginginkannya.
Hal praktis lain yang perlu dilakukan adalah untuk menjauhkan benda-benda yang mungkin dipakai untuk percobaan bunuh diri. Misalnya seperti tali panjang, pisau atau benda-benda tajam dari sekitarnya. Termasuk jangan sampai anak mengunci dirinya di kamarnya.
Di sisi lain, penting bagi orang tua memiliki wawasan tentang kesehatan mental yang benar, sehingga ketika anak ada masalah bisa ditangani sedini mungkin dengan cara yang tepat. Ini juga dikemukakan oleh Nova yang mengatakan bahwa orang tua yang tahu tentang informasi tentang kesehatan mental akan meminimalisir munculnya stigma pada remaja-remaja ini.
“Ketika keadaan memburuk atau kita tidak bisa menanganinya, jangan malu untuk minta bantuan profesional. Jangan merasa karena membutuhkan bantuan profesional berarti kita tidak bisa mengurus anak sendiri,” tutur Nina mengingatkan.
Karena memang, ada fase dimana remaja tak mau bercerita pada keluarga, melainkan dengan orang-orang lain di luar lingkup tersebut. Maka dari itulah, selain meminta bantuan pada profesional, penting juga untuk mengenal atau menjalin hubungan baik dengan sahabat anak, untuk mendapatkan informasi penting terkait dengan anak.
Para remaja ini adalah generasi penerus bangsa. Penting untuk menjamin kesehatan mental mereka. Maka seharusnya, pemerintah memiliki sistem yang mampu menangani masalah ini.
Seperti saran Nova, “Kita bisa revitalisasi lagi hotline 500454 yang pernah ada di tahun 2010. Kita harus mempermudah remaja untuk mendapatkan akses informasi kesehatan jiwa. Kementerian Kesehatan seharusnya siap dengan ini dengan menyiapkan organisasi profesi, dokter jiwa, hingga psikolog,” tutur Nova.
Jika perlu dilakukan pelatihan pada masyarakat tentang bagaimana menangani menghadapi masalah kesehatan mental, setidaknya dalam lingkup keluarga. Termasuk juga di lingkungan sekolah.
Masih menurut Nova, sekolah punya peranan penting untuk menjadi lingkungan ramah anak dan positif. Mulai dari menghilangkan budaya bullying sampai mengembalikan kapasitas guru BK untuk konseling perkembangan kognitif, sosial dan kepribadian siswa, bukan hanya pengembangan karier saja.
Pada intinya, semua dari kita memiliki peranan untuk menjadikan anak-anak atau adik-adik remaja kita untuk sehat secara mental. Menjauhkan mereka dari perasaan stres dan depresi yang membuat mereka merasa tak bahagia atau tak berarti. Karena anak-anak remaja ini adalah generasi penerus bangsa.
(*) Artikel ini juga sudah pernah dimuat di majalah Femina Oktober 2019
Commentaires