Dok. staticnak1983/Shutterstock
Berdasarkan penelitian yang dilakukan PARAPUAN pada pertengahan April lalu ditemukan bahwa 58,60 persen laki-laki masih menganggap tugas domestik hanya sebagai tugas sampingan saja. Padahal, 64,5 persen suami dan istri saat ini mencari nafkah bersama untuk keluarga, tetapi pembagian peran domestik masih mengalami ketimpangan karena lebih banyak dilakukan oleh istri (42,3 persen) dibandingkan suami (2,6 persen).
Konstruksi sosial yang menganggap istri harus mengerjakan tugas domestik nyatanya masih terjadi hingga saat ini. Lantas bagaimana memutus rantai stereotipe peran yang bias gender dalam rumah tangga?
Ternyata orang tua punya peran yang penting memutus stereotipe ini pada generasi penerusnya lho. Salah satunya dengan menjadi contoh langsung pada anak-anak di rumah ketika melakukan tugas-tugas domestik. Para orang tua bisa melibatkan anak secara langsung dalam tugas-tugas domestik yang adil.
Hal ini dilakukan Lucia Priandarini, ibu rumah tangga sekaligus penulis, yang percaya bahwa membiasakan anak laki-lakinya mengerjakan tugas domestik adalah salah satu cara bertahan hidup.
“Kami sih enggak bilang ‘cowok juga harus bisa ini itu, dan lain-lain’. Ya cukup bilang dia sebagai manusia, sebagai pelajar dan orang dewasa yang mandiri mesti bisa ngurus diri sendiri,” ujar penulis buku Posesif dan Dua Garis Biru ini.
Diakui perempuan yang akrab dipanggil Rini ini, ia mulai membiasakan putranya mengerjakan pekerjaan domestik sejak berusia tujuh tahun. Caranya, ia buatkan table chart, di mana sisi kiri diisi oleh tugas-tugas yang harus dikerjakannya dan sisi kanan adalah reward yang akan didapatkan apabila tugasnya selesai.
Tiap pekerjaan yang selesai dikerjakan akan dibintangi kolomnya. Apabila bintangnya ada 25, maka Rini juga harus memberikan 25 hadiah, misalnya seperti berenang atau makan es krim. “Makin banyak yang dia kerjakan, reward-nya makin ‘mahal’,” cerita Rini saat diwawancarai PARAPUAN.
Awalnya, ia akan mendapatkan tugas membereskan tempat tidur, membawa tanaman indoor milik Rini keluar untuk disiram. Sekarang, beranjak besar ketika usianya sudah menginjak 10 tahun, sang putra sudah bisa masak nasi dan cuci piring. Namun Rini dan suami tak lagi menerapkan reward chart.
Dalam upayanya menunjukkan anak tentang peran domestik yang setara dalam rumah tangga, Rini bekerja sama dengan sang suami. “Sebenarnya suamiku lebih mencontohkan yah, karena yang nyuci piring, nyapu dan ngepel tiap hari memang dia. Dan jujur, dia lebih bersih kalau nyapu-ngepel daripada aku, hahaha…” ujar Rini tertawa.
Walau diakui Rini bahwa tak mudah membiasakan putranya mengerjakan tugas domestik, namun ia merasakan bahwa anaknya mulai sedikit bertanggung jawab terhadap apa yang ia perlu kerjakan sendiri. Ia juga berharap bahwa kebiasaan mengerjakan tugas domestik dilihat oleh sang putra sebagai kebutuhan pribadi, bukan untuk memenuhi keinginan orang tua.
Mengajarkan anak tentang kesetaraan di rumah tangga, juga dilakukan oleh Fenly Anafary, perempuan karier dengan satu putra, sedini mungkin. Tak tanggung-tanggung, ia sudah membiasakan putranya, Sahl, mengerjakan tugas domestik bahkan sejak usia satu tahun.
Bukan tanpa alasan, diakui Fenly bahwa ia dibesarkan dalam keluarga yang juga menerapkan peran yang setara dalam tugas domestik. “Jadi berangkat dari rumah dan pengalaman pribadi. Adik laki-lakiku juga begitu sampai sekarang dewasa, dia selalu kerjain pekerjaan domestik walau kita punya asisten rumah tangga,” ceritanya.
Di sisi lain, setelah menikah, Fenly menyadari bahwa suaminya tak terbiasa dengan pekerjaan domestik. Hal ini pun semakin membulatkan tekadnya untuk membiasakan sang putra – sekaligus suaminya – untuk terbiasa mengerjakan tugas domestik. “Jadinya aku selalu ajak Sahl kolaborasi di rumah. Walaupun ada mbak (ART), Sahl harus tetap bisa mengerjakan hal-hal basic,” ujarnya lagi.
Jika sang putra ingin makan, ia akan menyiapkan minuman sendiri untuk diletakkan di meja. Kemudian, apabila setelah makan snack berantakan, ia akan ambil lap sendiri dan membuang sampahnya.
Bahkan, Fenly pun berinisiatif membelikan Sahl sebuah sapu berukuran mungil yang memang diperuntukkan untuk anak-anak. “Di saat dia enggak mau mainan anak-anak, maunya benda-benda orang dewasa, makanya beliin sapu versi kecil yang beneran bisa dipakai. Ternyata lebih laku (dimainkan) daripada mobil-mobilan, hahaha…” ujarnya lagi pada PARAPUAN.
Dipaparkan Fenly, berdasarkan guru sang putra, alasan mengapa anak tertarik dengan barang orang dewasa, karena mereka mencontoh orang dewasa. Sehingga, selain menyiapkan sapu, pel, dan lap, Fenly juga membuat sebuah space khusus. Misalnya seperti sudut minuman, dimana ia menyediakan dispenser kecil beserta gelas, di bawahnya diberikan alas, karena awalnya sang putra belum mengerti kapan gelas penuh oleh air.
Fenly juga menyediakan meja makan dan kursi sendiri, agar Sahl tahu jika ia ingin makan maka akan duduk di situ. Tujuan dalam membiasakan anak untuk mengerjakan tugas domestik, menurut Fenly, karena ia ingin sang putra lebih menghargai siapapun yang ada di dalam rumah.
“Pekerjaan domestik bukan hanya dikerjakan ibu atau mbak (ART) saja, ayah dan Sahl juga harus involve karena kita tinggal di sini bersama-sama,” ujarnya lagi.
Bahkan, Fenly juga memberikan panduan ke pengasuh bahwa walaupun dia menjaga Sahl, ia tak ingin anaknya diperlakukan seperti raja. “Peran mbak bantu melihat Sahl dan guide untuk melakukan hal-hal yang belum bisa dilakukan. Tapi bukan juga untuk manjain dan ngelarang-larang,” kata Fenly mengingatkan.
Itu dia yang dilakukan oleh dua ibu mengajarkan anak mereka kesetaraan dalam mengerjakan tugas domestik.
Lantas bagaimana caramu mengajarkan pada anak tentang kesetaraan peran dalam melakukan tugas domestik?
(*) Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di Parapuan.co.
Comments