top of page
Gambar penulisCitra Narada

Bagaimana Bisnis Kuliner Bisa Bertahan Puluhan Tahun?

Diperbarui: 12 Sep 2020



Industri kuliner dalam perkembangan brand-brand lokal adalah salah satu yang paling cepat dan tertinggi tingkat pertumbuhannya. Hal ini dibuktikan dari data Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang menunjukkan bahwa industri kuliner menduduki posisi nomor satu dengan menyumbang 41 persen produk domestik bruto (PDB) dalam sektor ekonomi kreatif. Sedangkan di urutan kedua ada industri mode dan kriya di deretan ketiga.


Kendati menjadi industri dengan pertumbuhan tercepat, namun menurut Arto Subiantoro, ahli brand marketing dan pendiri Gambaran Brand, ada tantangan yang harus dihadapi oleh para pengusaha kuliner.


“Di sisi lain, industri ini jadi yang paling rentan untuk tutup dan gulung tikar, karena barrier to entry-nya sangat mudah untuk ditembus,” jelasnya.


Maka, ketika ada sebuah bisnis kuliner bisa bertahan dalam waktu yang lama, dapat dikatakan bahwa mereka adalah sang jawara. Mereka telah berhasil melewati berbagai perubahan situasi ekonomi, persaingan antar bisnis hingga tren yang terus berganti. Sebut saja seperti Gudeg Yu Djum yang telah berdiri sejak tahun 1951, Dapur Solo yang memulai bisnisnya dari tahun 1988, hingga Tauco Cap Meong yang bahkan usianya sudah lewat dari seabad karena telah berdiri sejak tahun 1880.


Apa yang sebenarnya membuat kuliner-kuliner legendaris ini bisa bertahan segitu lamanya? Padahal, persaingan di era modern kian beringas, terutama dengan kehadiran media sosial sebagai platform promosi yang paling mudah dijangkau. Sementara para pebisnis kuliner legendaris ini, justru kerap dianggap ‘ketinggalan zaman’ karena memang usia bisnisnya yang telah matang.


Menurut Arto, salah satu alasan yang membuat brand-brand kuliner legendaris ini bisa bertahan segitu lamanya adalah karena mereka memulai di saat yang tepat. Maklum saja, era dimana mereka mulai terjun berbisnis, industri kuliner tak seketat sekarang ini.


“Maka, brand-brand yang mulai dari awal ini akan mendapatkan kesempatan atau keuntungan karena saat itu belum banyak terjadi persaingan,” cetusnya lagi.


Di sisi lain, brand awareness dan brand recall-nya pun menjadi sangat kuat yang terus dipertahankan hingga sekarang.


Di tanah air, yang menjadi kekuatan dari brand-brand legendaris seperti Gudeg Yu Djum, Dapur Solo hingga Tauco Cap Meong ini menurut Arto adalah karena mereka mampu menjadi market leader yang dibangun secara viral lewat waktu secara turun temurun.


“Semua brand yang bisa bertahan melewati waktu setelah 20 tahun, dia akan masuk ke dalam evergreen brand. Selama brand itu bisa bertahan saja, maka pasar akan menghormati dan melakukan pendekatan dengan pembelian atau membagikan cerita kepada orang lain,” tambahnya lagi.

Ketika sudah menjadi sangat besar, brand-brand legendaris ini tak lagi bersaing antar mereka sendiri. Mereka memiliki pangsa pasar dan captive market sendiri, yang mungkin tidak besar tapi sudah terbangun secara konsisten. Persaingannya adalah bagaimana mereka menemukan pasar baru.


Jika diperhatikan, beberapa kuliner legendaris ini memang sangat terkenal, tapi beberapa di antaranya dinilai tak memiliki perkembangan yang signifikan. Dalam arti, mereka tak mengekspansi bisnisnya dengan membuka cabang baru atau melakukan inovasi yang lain. Beberapa bisnis legendaris ini hanya berbisnis di kota tempat mereka berdiri.

Penting atau tidaknya sebuah bisnis dengan usia yang sudah dewasa untuk mengembangkan bisnis, menurut Arto sangat tergantung dari visi dan misi pendirinya.


“Mereka bisa bertahan, tapi belum tentu ingin berkembang. Kita tak bisa bilang bahwa ini brand yang kecil di sebuah kota atau ini adalah brand yang tidak bagus, karena mungkin saja bagi warga sekitarnya brand tersebut adalah brand besar,” papar Arto.


Ia menambahkan bahwa konsep bagus dari sebuah brand itu sendiri tidak harus dikenal oleh seluruh orang di Indonesia. Menjadi kuat di daerah geografis dimana brand tersebut berada juga sudah menandakan kualitas dari brand itu sendiri.


Sepertinya ini jugalah yang terjadi pada brand Tauco Cap Meong. Bisnis tauco yang dirintis oleh Nyonya Tasma ini hanya dikenal di daerah Cianjur selama lebih dari seratus tahun. Kendati hanya menjualnya di sekitaran daerah Cianjur, namun brand awareness yang tertanam di warga sekitar sangat kuat, sehingga menumbuhkan pelanggan tetap yang ada selama turun temurun.


Masih menurut Arto, terkadang hal yang membuat sebuah brand tidak berkembang adalah karena mereka tidak ambisius mencari pendapatan yang besar, melainkan mereka memilih untuk menurunkan warisan budaya secara turun temurun melalui kuliner yang mereka buat. Jadi kembali lagi pada motor penggerak atau pemilik bisnisnya tersebut memiliki visi yang seperti apa.


“Kalau dia oportunis, membuat bisnis hanya untuk mencari pendapatan, biasanya tidak akan bertahan lama,” paparnya menambahkan.


Bertahannya sebuah brand kuliner legendaris dari masa ke masa ini bukannya tanpa pertempuran. Terlebih lagi ketika bisnis diteruskan ke generasi berikutnya, biasanya terdapat tantangan tersendiri yang harus siap dihadapi. Generasi penerus menjadi salah satu faktor krusial apakah sebuah bisnis kuliner legendaris ini bisa bertahan atau tidak.


Apakah generasi kedua dan seterusnya mampu melanjutkan dan memperbesar pasar dari bisnis yang dirintis orang tuanya?


“Ada beberapa kasus yang justru di generasi kedua sangat sukses. Tapi bisa jadi di generasi kedua atau setelahnya, bisnisnya tidak dikembangkan. Jadi kembali lagi kepada apakah visi misi pendirinya diterjemahkan dengan baik oleh si penerusnya atau tidak?” cetus Arto.


Sependapat dengan pandangan tersebut, William Wongso, pakar kuliner, juga mengatakan bahwa perubahan dari bisnis kuliner legendaris biasanya terjadi di generasi berikutnya.


“Bisa jadi ada perubahan standar kualitas rasa, skema bisnis atau bahkan bisa menyebabkan terjadi perpecahan brand itu sendiri,” papar William.


Pertanyaannya adalah, apakah generasi penerusnya ini bisa mempertahankan apa yang telah dilakukan oleh pendirinya atau tidak? Menurut William, sangat tergantung dari sang pemilik apakah dia sudah cukup meneruskan ilmunya ke generasi berikutnya atau tidak. Kalau generasi seterusnya tidak bisa menjaga dan meneruskan visi misi dari orang tuanya, maka akan sulit bagi bisnis kuliner tersebut untuk berkembang di masa depan.


“Seberapa lama bisa bertahan nyawa bisnis-bisnis legendaris ini kuncinya ada di generasi berikutnya. Karena biasanya generasi kedua itu tugasnya membina untuk meneruskan sampai generasi ke berikutnya lagi,” jelas William.

Ia percaya bahwa penting untuk seorang pebisnis kuliner menyampaikan dengan baik visi misinya agar generasi yang berikutnya bisa meneruskan impian tersebut.


Lebih dari itu, menghadapi era yang terus berubah, penting bagi brand kuliner legendaris ini juga ikut menjadi bagian dalam sebuah inovasi.


“Mau tidak mau, jika ingin berkembang, harus ada inovasi. Inovasi itu kan tidak bisa hanya dengan mengikuti intuisi kuno saja. Asal kelakon (asal bisa selesai) terus tidaklah cukup untuk berkembang,” tutur William mengomentari beberapa brand kuliner legendaris yang terlihat stagnan di tempat.


Terlepas dari brand-brand kuliner tua ini ingin mengembangkan bisnisnya besar atau menjadi jawara di tempatnya berdiri, mereka tak sekadar bisnis yang bisa bertahan dalam usia yang terbilang lama. Mereka adalah legenda di dunia yang mereka geluti. Tak jarang mereka justru jadi ikon bagi kota tempat mereka berdiri dan dianggap sebagai pahlawan lokal yang mengenalkan budaya serta cita rasa kuliner klasik kepada masyarakat luas yang berada di luar area geografis tempat mereka berdiri.


Misal saja seperti Gudeg Yu Djum atau Tauco Cap Meong. Tak jarang, warga dari luar kota sengaja mengunjungi kota tempat mereka berada untuk merasakan makanan khas yang mereka miliki. Seperti warga yang datang ke Yogyakarta, kerap menyempatkan diri untuk makan gudeg di tempat Gudeg Yu Djum. Begitu juga dengan orang yang datang ke Cianjur, akan menyempatkan diri datang ke toko Tauco Cap Meong untuk membeli tauco segar sebagai oleh-oleh.


Peran besar mereka dalam mempertahankan budaya dan kuliner lokal bahkan pernah diangkat dalam sebuah film dokumenter berjudul Street Food di Netflix, aplikasi streaming film. Dalam film dokumenter tersebut dijelaskan bahwa mereka adalah pahlawan lokal yang membuka gerbang warisan budaya kepada masyarakat luas melalui kuliner otentik.


“Mereka telah memasak makanan yang sama selama puluhan tahun. Mereka tidak pernah pergi ke sekolah kuliner yang mahal, tapi mereka selalu dihormati dan menjadi pahlawan,” ujar kalimat pembuka dalam film dokumenter tersebut yang juga menampilkan sosok Mbah Lindu, salah satu pembuat gudeg legendaris dari Yogyakarta, sebagai salah satu figur yang diangkat ceritanya.


Rasanya tak salah menyebut para legendaris kuliner ini sebagai pahlawan lokal. Terlebih lagi di tengah era makanan fusion dan kuliner mancanegara makin banyak ditemui di berbagai penjuru tanah air, yang kian mengancam kelestarian makanan khas daerah. Kehadiran pebisnis kuliner legendaris dengan makanan otentiknya ini yang membuat santapan khas daerah tetap dikenal dari generasi ke generasi.


“Satu hal yang menjadi kekuatan mereka adalah santapan lokalnya. Mereka memiliki peranan yang sangat penting untuk mempertahankan perkembangan kuliner khas daerah,” tutur William.

Pasalnya, William percaya, bahwa belakangan masyarakat mulai kembali menyukai makanan-makanan daerah.


“Orang-orang sudah mau kembali lagi mencari makanan yang jadul dan klasik. Karena mereka bosan dengan makanan-makanan campuran tersebut,” ujar William.




(*) Artikel juga sudah pernah dimuat di Majalah Femina - Mei 2019


4 tampilan0 komentar

Comentários


bottom of page