top of page
Gambar penulisCitra Narada

Sejarah Nusantara : Sejak Dulu Perempuan Sudah Berkuasa






Kebangkitan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di abad ke-21 ini memang sesuatu yang membanggakan. Kini perempuan pun kian berdaya, langit-langit kaca yang katanya kerap membatasi pun kini perlahan runtuh. Karena makin banyak pula wanita yang sejajar dengan laki-laki atau bahkan memangku posisi tertingginya.


Walau perjalanan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan melalui perjuangan yang panjang, namun ternyata kesetaraan setidaknya pernah menjadi sesuatu yang lazim terjadi belasan abad yang lalu. Anggapan bahwa emansipasi atau feminisme adalah produk barat pun ditepis dengan fakta sejarah yang mengungkapkan bahwa ribuan tahun yang lalu, Nusantara Indonesia pernah dipimpin oleh ratu dan jabatan penting lainnya yang pernah diduduki oleh perempuan.


Pemosisian perempuan yang setara dengan laki-laki nyatanya sudah terjadi bahkan sejak ribuan tahun lalu, ketika Nusantara masih terdiri dari banyak kerajaan-kerajaan. Pada era itu, ada beberapa masa ketika sejumlah kerajaan dipimpin oleh Raja Putri, sebutan untuk raja perempuan. Beberapa raja putri memiliki jejak sejarah yang kuat, bahkan raja-raja putri di Jawa tercatat dalam berita Tiongkok.


Misalnya seperti Ratu Jay Shima yang sangat terkenal sebagai raja perempuan pertama yang menjadi penguasa di Kerajaan Kalingga pada era 674 M sampai 695 M. Selama 21 tahun memegang takhta, ia menjadi raja yang berhasil membawa Kerajaan Kalingga ke puncak tertingginya, dari segi politik, perdamaian hingga perdagangan.


Serupanya Ratu Shima, di era Majapahit nama Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah salah satu yang tak boleh terlewatkan dalam catatan sejarah. Tribhuwana mengambil alih takhta sang ayah, Raden Wijaya, sebagai penguasa Kerajaan Majapahit setelah mangkat. Ia pun menjadi raja Kerajaan Majapahit yang sangat dihormati karena mampu mengekspansi Majapahit menjadi sangat luas.


Tersebarnya berita tentang raja-raja perempuan tak hanya terjadi di Jawa. Kerajaan lain di luar Jawa pun memiliki versinya sendiri. Seperti ketika masuknya Islam ke Nusantara, Kerajaan Aceh juga memiliki raja-raja perempuannya sendiri, kendatipun ada anggapan bahwa pemerintahan oleh perempuan tak sesuai dengan ajaran Islam. Setidaknya seperti yang tercatat dalam sejarah, ada empat sultanah (raja perempuan) yang memimpin Kerajaan Aceh selama 59 tahun berturut-turut.


Mulai dari Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin yang menggantikan mendiang suaminya, Sultan Iskandar Thani. Setelah Safiyatuddin wafat, pun digantikan oleh sultanah lainnya, seperti Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin, yang diteruskan kepada Inayat Syah Zakiyatuddin dan berlanjut hingga ke Sultanah Kamalat Shah.

Ketika sosok-sosok ratu dari penjuru nusantara ini menduduki takhta tertinggi dalam kerajaan, tak sekadar hanya menjadi simbol pemimpin semata tanpa benar-benar berkuasa. Pasalnya sejak masih menjadi putri mahkota, para ratu-ratu ini sudah digembleng dari level paling bawah. Dimulai dari penguasa daerah, kemudian masuk ke keraton menjadi pejabat tinggi birokrasi kerajaan hingga menjadi ratu.


“Mereka terlibat dalam mengatur sistem pemerintahannya, bagaimana pajak itu dibuat, mengatur pendidikan, hingga mencari solusi untuk masalah pembangunan daerah,” papar Dra. D.S. Nugrahani, M.A, Dosen Arkeologi, Universitas Gadjah Mada.

Seperti diceritakan Nugrahani, pada beberapa kasus tertentu putri mahkota tidak menjadi raja karena dia ‘menyerahkan’ kekuasaannya pada sang suami tapi masih terlibat membantu dalam mengatur kerajaan. Seperti kisah Pramodhawardhani yang beragama Buddha, menikah dengan suaminya, Rakai Pikatan, yang beragama Hindu. Kemudian mereka berdua sama-sama memerintah Kerajaan Medang (Kerajaan Mataram Kuno).


“Bahkan lebih menariknya lagi, Pramodawardhani turut berperan besar dalam menjadikan kerajaan Mataram Kuno menjadi kerajaan yang menjunjung tinggi toleransi beragama. Putri ini berperan menyatukan kedua agama hidup setara dan selaras hidup berdampingan,” cerita Nugrahani.


Pada masa kejayaan keduanya, banyak candi-candi Buddha dan Hindu yang dibangun secara gotong royong, seperti candi-candi di daerah Plaosan.


Bahkan, dalam era kejayaan Kerajaan Majapahit, sosok perempuan yang penting tercatat dalam sejarah adalah Gayatri. Ia adalah salah satu istri dari raja pertama Majapahit, Raden Wijaya. Walaupun menolak untuk meneruskan takhta sang suami dan memutuskan untuk menjadi biksuni, Gayatri dikenal baik sebagai seorang negarawan yang handal dan sangat dihormati, yang punya peran besar dalam mengangkat Majapahit ke puncak kejayaannya.


“Gayatri ikut menentukan strategi-strategi politik di Majapahit, sampai membuat kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya hingga jaman cucunya, Hayam Wuruk,” cerita Nugrahani.


Menurut beberapa sumber, Gayatri dipercaya sebagai ‘otaknya’ Majapahit dan menjadi penasihat utama kerajaan.


Gayatri pun turut membimbing putrinya, Tribhuwana Wijayatunggadewi memimpin Majapahit. Bahkan menurut sejarawan asal Kanada, Earl Drake, yang pernah menulis Gayatri Rajapatni, Gayatri dikenal sebagai sosok yang telah membimbing nyaris seluruh toko besar laki-laki pada masanya, termasuk Mahapatih Gajah Mada.


Tak hanya kalangan elit di dalam kerajaan-kerajaan saja yang diisi oleh perempuan. Menurut Nugrahani, beberapa profesi tertentu juga banyak dilakoni oleh kaum hawa. Mulai dari penguasa daerah, pengawas hutan, petugas irigasi, ahli perbintangan hingga pengelola bangunan suci. Bahkan dalam Prasasti Guntur (907 M) disebutkan bahwa ada perempuan yang menjadi saksi dan pemutus suatu perkara. Ini menunjukkan bahwa di ranah domestik ataupun publik, perempuan bekerja di berbagai macam profesi adalah sesuatu yang lazim.

“Tentunya ketika seseorang mengisi posisi-posisi penting ini, yang dilihat bukanlah gendernya, tapi kapabilitasnya dalam menjalankan profesi tersebut,” cerita Nugrahani menambahkan.

Lebih jauh, menurut sejarawan Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa : Jaringan Asia, ada bukti yang membenarkan bahwa perempuan mengambil bagian yang besar dalam kehidupan ekonomi maupun politik. Salah satu contohnya adalah perempuan menjadi saudagar yang sukses.


Kearifan Sang Ratu

Catatan sejarah yang menunjukkan besarnya peran perempuan pada posisi-posisi tinggi tertentu dalam masyarakat di era kejayaan kerajaan-kerajaan tempo dulu memang sesuatu yang membanggakan. Namun tak lantas kemudian dapat digeneralisasikan bahwa kesetaraan terjadi di semua lapisan masyarakat era itu.


Karena memang, jika diperhatikan, perempuan-perempuan yang berkuasa di eranya, mayoritas adalah mereka yang datang dari kalangan elit atau merupakan keturunan dari keluarga kerajaan. Sementara di lapisan bawah, belum diketahui secara pasti apakah kesetaraan juga sama terjadi. Hal ini juga pernah disampaikan oleh Titi Surti Nastiti, penulis buku Perempuan Jawa : Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII - XV bahwa pada masa Jawa Kuno posisi wanita dan pria tidak selalu setara.

Kendati demikian, dari sosok raja putri dan sejumlah posisi penting yang diisi oleh perempuan ini kita bisa merefleksikannya ke masa kini dimana perempuan juga bisa berdaya dan menjadi pemimpin yang arif. Seperti sosok Ratu Shima, ia dikenal sebagai pemimpin yang sangat adil dan tegas.


Ia tak segan untuk menghukum anaknya sendiri demi menerapkan hukum yang adil dan tegas tanpa pandang bulu. Ia juga dikenal pandai berdiplomasi dan mengedepankan perdamaian dengan cara menjalin persahabatan dengan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Galuh agar saling memberikan bantuan saat dibutuhkan. Ia pun dianggap lihai untuk menaklukkan kerajaan lain tanpa menggunakan kekerasan.


Di Kerajaan Majapahit, salah satu kesuksesan Tribhuwana Wijayatunggadewi yang tercatat adalah berhasil mengekspansi daerah kekuasaan kerajaan hingga ke Bali dan Sumatera. Ia dianggap pandai mengatur strategi politik sehingga berhasil menyatukan nusantara yang terdiri dari ribuan gugusan pulau, yang menjadi cikal bakal NKRI.


Sedangkan pada masa kepemimpinan para sultanah di Kerajaan Darussalam, banyak perubahan kebijakan yang mendorong pemberdayaan perempuan. Salah satunya seperti membuka pusat pendidikan yang dulunya hanya boleh diakses oleh laki-laki, tapi menjadi bebas digunakan oleh perempuan. Ini sejalan dengan mimpi Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin yang menginginkan semua anak perempuan untuk belajar.


Menurut Nugrahani, ketika para perempuan menjadi penguasa di eranya masing-masing, mereka memiliki kelebihannya sendiri.


“Para perempuan ini tidak hanya pandai, cerdas, tapi juga menggunakan hati. Kekuasaan itu tidak hanya harus bertangan besi, tapi juga harus ada aspek welas asihnya. Welas asih dimaknai dengan sesuatu yang sangat dalam. Bukan berarti dia lemah, tapi menyelesaikan persoalan tidak harus dengan senjata,” tutur Nugrahani.



(*) Artikel ini juga sudah diterbitkan di Majalah Femina - September 2019.

2 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page