top of page
Gambar penulisCitra Narada

Posisi Perempuan dalam Politik

Diperbarui: 13 Sep 2020


Photo by Chelsi Peter from Pexels


Peran serta perempuan dalam politik tak bisa diremehkan begitu saja. Perempuan memiliki posisi yang sangat penting dalam proses pemilu, yang berada di tiga ranah sebagai pemilih, peserta dan penyelenggara.


Seperti yang disampaikan Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bahwa dalam ranah pemilih, perempuan memiliki jumlah yang sangat besar di pemilu tahun 2019.


“Dibandingkan tahun 2014 lalu, pemilih perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki saat ini. Perempuan pun lebih loyal menggunakan hak pilihnya ketimbang laki-laki,” ujar Titi.


Menurut laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU) per Desember 2018 lalu, pemilih perempuan memang lebih banyak dengan jumlah sekitar 96.557.044 orang, sementara laki-laki berjumlah 96.271.476 orang. Walau perbedaan jumlahnya tidak terlalu signifikan, namun ini menandakan bahwa peran perempuan akan jadi sangat berharga dalam menentukan perubahan dalam pemilu April mendatang.


Sebagai peserta, keterwakilan perempuan juga terus bertambah dalam pemilu. Data KPU menyebutkan bahwa ada sekitar 40 persen calon legislatif perempuan yang maju ke pemilu legislatif tahun ini, yaitu sekitar 3.194 orang dari total 7.968 calon legislatif (caleg).


“Ini menandakan partai politik punya kepentingan yang besar pada mereka (caleg perempuan). Pasalnya, dalam undang-undang pemilu, ada pengaturan bahwa pencalonan harus memenuhi paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan di dalam parpol (partai politik). Kalau tidak memenuhi keterwakilan tersebut, maka parpol bisa didiskualifikasi dari proses kontestasi,” jelas Titi lagi.


Walau kepesertaan caleg perempuan kian bertambah tiap pemilunya, namun tak serta merta bebas hambatan. Pasalnya, menurut temuan Perludem, calon legislatif perempuan kerap ditempatkan pada nomor urut buntut. Hanya 235 calon legislatif perempuan yang berada di nomor urut satu. Paling banyak ditempatkan di nomor urut tiga (781 orang) dan enam (572 orang). Sisanya didominasi oleh caleg laki-laki.


Nomor urut nyatanya turut memengaruhi keterpilihan caleg dalam pemilu. Dari data Pemilu 2009 dan 2014, nomor urut satu terbukti paling banyak dipilih. Angka keterpilihannya bisa mencapai lebih dari 60 persen. Dan kemungkinan keterpilihan tersebut akan menurun pada nomor urut 2, 3 dan seterusnya secara substansial. Ini menandakan bahwa caleg perempuan masih tidak dianggap penting dan punya kekuatan yang setara dengan caleg laki-laki.


Sementara itu, sebagai penyelenggara pemilu, perempuan memiliki peranan yang juga tak kalah penting. Menurut Titi, keberadaan perempuan berkontribusi dalam proses politik yang adil dan mendukung kemajuan perempuan di Indonesia.


“Afirmasi perempuan sebagai penyelenggara pemilu diperlukan untuk memastikan kebijakan dari hulu ke hilirnya tidak bias gender,” tambahnya.

Kendati demikian, diakui Titi, keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara pemilu masih terbilang minim. Sedikitnya tergambar dari hasil seleksi anggota KPU periode 2018-2023, yaitu bahwa dari 12 provinsi masing-masing hanya memiliki satu perempuan anggota KPU. Hanya Sulawesi Utara yang memiliki dua anggota KPU wanita, sedangkan DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan memiliki 3 anggota KPU perempuan. Sayangnya, Kalimantan Tengah justru tak punya anggota KPU perempuan.


Padahal sebenarnya, menurut Titi, kita memiliki banyak sumber daya yang dapat mengisi posisi kelembagaan penyelenggaraan pemilu perempuan. Dibutuhkan komitmen yang serius dan konkret dari negara untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggaraan pemilu.


Keterwakilan Fisik dan Gagasan Perempuan

Hal yang seharusnya dipahami banyak orang bahwa kehadiran perempuan di politik bukan hanya pada kehadiran fisiknya saja, tapi juga perlu ada keterwakilan gagasan dan pengalaman yang tak bisa terwakili selain perempuan. Pasalnya diharapkan dengan banyaknya gagasan yang lahir dari kehadiran perempuan di politik dapat terformulasi dalam bentuk kebijakan, penganggaran ataupun kerja-kerja pengawasan yang mendukung kemajuan perempuan.


“Misal untuk masalah kematian ibu saat melahirkan atau pembangunan perempuan dan sebagainya, itu kan pengalaman personal yang dialami perempuan, yang tidak bisa digantikan oleh politisi-politisi pria. Disitulah suara perempuan menjadi penting,” papar Titi lagi.


Dengan begitu, tentu akan jadi relevan mengapa perempuan perlu memilih calon pemimpin wanita. Karena, posisi keterwakilan perempuan saat ini masih terbilang stagnan. Misal saja di tingkat DPR RI keterwakilan perempuan hanya di angka 18 persen, DPRD Provinsi di angka 14 persen dan DPRD Kabupaten Kota di angka 16 persen.


“Kalau pemilih perempuan yang lebih loyal dalam menggunakan hak pilihnya dan konsisten memilih caleg perempuan, saya yakin akan lebih banyak perempuan yang hadir jadi pembuat kebijakan, baik di lembaga legislatif ataupun eksekutif,” ujar Titi optimis bahwa kehadiran politisi perempuan ternyata bisa dan mampu berkontribusi pada perubahan yang lebih baik pada isu pemberdayaan dan kemanusiaan.

“Sebagai contoh, ada beberapa produk legislasi yang dikawal oleh anggota legislatif perempuan. Seperti UU Penyandang Disabilitas, ketua pansusnya saat itu adalah Ledia Hanifa. Begitu pun UU Penghapusan Kekerasan Seksual, banyak digawangi oleh anggota legislatif perempuan,” tambahnya.


Namun lagi-lagi, legislator perempuan di parlemen menghadapi tantangan ganda. Menanggapi banyaknya pandangan yang menilai legislator perempuan tidak memiliki kualitas kerja yang berpengaruh, Titi menyampaikan bahwa kita tidak bisa mengukur kinerja mereka dari satu faktor saja.


“Karena mereka sebenarnya menghadapi banyak situasi yang berkontribusi terhadap hambatan kerja mereka,” jelasnya.


Selain sulitnya masuk ke jajaran legislator, keberadaan mereka yang masih kurang dari 18 persen tentu tidak serta membuat mereka dalam posisi tawar menawar yang kuat dalam pengambilan keputusan (voting).


“Mereka menghadapi multi challenge. Selain dari segi jumlah, mereka juga harus menghadapi situasi sebagai minoritas di parlemen dengan budaya dan paradigma yang kebanyakan masih patriarkis, belum berpihak pada keadilan gender,” tuturnya lagi.


Titi mengingatkan bahwa kehadiran perempuan dalam pemilu ini semestinya kita tempatkan dan tangkap sebagai peluang memperkuat pendekatan pragmatis yang berpihak pada keadilan gender dan perlindungan perempuan. Maka dari itu dibutuhkan sinergi antara politisi perempuan dan kelompok gerakan perempuan di luar parlemen agar gerakannya menjadi harmonis dan simetris untuk memperjuangkan keadilan.


Memilih yang Berpihak pada Perempuan

Walau keterwakilan perempuan sangat dibutuhkan, namun kita tak bisa menutup mata bahwa kehadiran calon kepala daerah atau legislator perempuan tidak serta membuat mereka memiliki program yang berpihak pada isu pemberdayaan perempuan dan anak. Bahkan, menurut riset Perludem di pilkada tahun 2015, 2017 dan 2018, kurang dari 30 persen kandidat wanita yang punya program berkaitan dengan isu keadilan gender, maupun itu penguatan perlindungan anak dan perempuan.


“Tentu kita tidak bisa melihat mereka sebagai individu tunggal yang dipengaruhi oleh faktor keperempuanannya saja. Tapi mereka juga individu dengan kompleksitas latar belakang, baik itu politik, budaya, hingga ekonomi yang membentuk pola pikir mereka,” tutur Titi yang melihat terkadang caleg perempuan justru lebih memilih untuk memfasilitasi suatu program demi kepentingan kelompok politiknya dibandingkan isu-isu keadilan gender.

Maka dari itu, penting bagi kita untuk bisa menjadi pemilih yang rasional, yang cermat menilai partai politik atau caleg mana yang memiliki keberpihakan pada perempuan. Adapun, berikut tip yang diberikan oleh Titi untuk para pemilih :


Pertama, kenali apa kebutuhan khas kita. Kebutuhan anak muda dengan kebutuhan ibu-ibu akan berbeda, begitupun dengan perempuan di perkotaan dan di pedesaan. Pilihlah caleg yang dapat memenuhi kebutuhan khas kita.


Kedua, kenali apa yang jadi problematika atau permasalahan lingkungan masyarakat kita. Pemimpin yang baik tak hanya mampu mengatasi masalah satu golongan saja, tapi masalah lingkungan di masyarakat kita juga.


Ketiga, jangan lupa mengenali rekam jejak calon pilihan. Jangan sampai hanya karena ia mampu memformulasi hal-hal manis dan teks-teks positif dalam kampanyenya, tapi ternyata dia adalah pelaku kekerasan pada perempuan atau caleg mantan terpidana korupsi. Rekam jejak ini untuk mengukur kemampuan dan prestasi masa lalu, apakah ia mampu merealisasikan visi misi program dan gagasan yang ia bawa atau tidak.


Dan keempat, jangan lupa gunakan hak pilih. Informasi perkembangan dan isu kepemiluan jadi penting sehingga ketika nanti mencoblos, suara sah dan tidak disalahgunakan.


“Dan pastikan kalau kita sudah terdaftar dan bisa menggunakan hak pilih,” tambahnya.




(*) Artikel ini juga sudah dipublikasikan di Majalah Femina - April 2019.

5 tampilan0 komentar

Kommentare


bottom of page