Dok. Dainis Graveris / Unsplash
Kebangkitan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di abad ke-21 ini memang sesuatu yang membanggakan. Kini perempuan pun kian berdaya, langit-langit kaca yang katanya kerap membatasi pun kini perlahan runtuh. Karena makin banyak pula perempuan yang sejajar dengan laki-laki atau bahkan memangku posisi tertingginya.
Namun, bagaimana peran perempuan di era kerajaan? Apakah benar perempuan memiliki peran yang lebih rendah dibandingkan laki-laki?
Sebenarnya, sudah sejak dahulu kala banyak kerajaan-kerajaan di Nusantara yang dipimpin oleh perempuan. Sebut saja Ratu Jay Shima yang memimpin Kerajaan Kalingga dan Tribhuwana Wijayatunggadewi yang memimpin di era Majapahit.
Memang posisi perempuan sebagai pemimpin di era kerajaan Hindu - Buddha maupun masuknya Islam tak sebanyak raja laki-laki. Belum lagi, catatan sejarah tentang ratu-ratu penguasa kerajaan ini tak begitu banyak, sehingga nama mereka tak cukup dikenal dengan baik.
Misal saja, sejak era Mataram Kuno (abad 8 M) hingga Majapahit (abad 16 M), tercatat ada 52 raja yang memegang takhta kekuasaan dan hanya ada 3 raja putri yang berkuasa. Atau jika bicara tentang Kerajaan Majapahit, masyarakat akan lebih mengenal Hayam Wuruk dibandingkan Tribhuwana Wijayatunggadewi, yang juga merupakan ibunya yang sempat menjadi penguasa Majapahit masa sebelumnya, yang melakukan ekspansi besar-besaran untuk memperluas daerah kekuasaan kerajaan.
Tapi di antara yang tak banyak itu atau tak sering dibicarakan, para raja putri penguasa Nusantara terlihat sangat menonjol. Bahkan lebih jauh, diakui secara historis kekuatannya tak kalah dengan raja laki-laki hingga ke mancanegara.
Pada beberapa kerajaan, tak ada batasan khusus bagi perempuan menjadi penguasa kerajaan, selama mereka adalah putri atau putra raja yang lahir dari permaisuri. Jika tak ada, barulah dialihkan kepada keturunan raja dari selir atau kerabat paling dekat dengan raja. Hal ini juga disampaikan sejarawan Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa : Jaringan Asia, bahwa dalam perundangan Majapahit memang tak disinggung soal perempuan berstatus inferior hingga tak boleh memegang jabatan tinggi.
Sedangkan menurut buku Perempuan Jawa : Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII - XV yang ditulis oleh Titi Surti Nastiti disebutkan bahwa pada masa Jawa Kuno, perempuan dan laki-laki digambarkan sebagai mitra yang sejajar. Kesetaraan yang terlihat di semua aspek kehidupan masyarakat ini menunjukkan bahwa baik perempuan maupun laki-laki dapat bergerak di ranah domestik maupun publik.
Dalam bahasa Sanskerta sendiri akar kata perempuan dan laki-laki dimaknai setara. Perempuan diambil dari kata vanita, dimana van bermakna tercinta, istri, perempuan dan anak gadis. Sementara pria diambil dari kata priya yang berarti tercinta, kekasih yang disukai, yang diinginkan dan sebagainya.
Namun memang, ada pembagian kerja secara seksual yang diterapkan. Misalnya, pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik umumnya dilakukan oleh laki-laki, sementara pekerjaan yang lebih ringan dilakukan oleh perempuan.
“Tapi jangan melihatnya sebagai pembeda, apa yang dikerjakan antara laki-laki dan perempuan itu justru saling melengkapi,” papar Dra. D.S. Nugrahani, M.A, Dosen Arkeologi, Universitas Gadjah Mada.
Kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat di era kerajaan menurut Nugrahani sangat erat kaitannya dengan perspektif religius yang memengaruhi konspirasi kehidupan di kerajaan-kerajaan.
“Jadi ada anggapan bahwa kerajaan itu akan makmur sejahtera dan damai kalau mengikuti konspirasi dari alam semesta yang selaras. Selaras itu ketika kekuatan maskulin dan feminin bersatu,” jelas Nugrahani.
Seperti dicontohkan dalam kisah Lingga dan Yoni, yang merupakan perpaduan kekuatan feminin dan maskulin. Jadi, ketika keduanya bersatu akan menimbulkan satu penciptaan alam semesta yang selaras.
“Perempuan itu fungsinya adalah penyelaras dunia dan penyeimbang dalam kehidupan manusia. Laki-laki ada tugas tertentu dan perempuan juga begitu, sehingga mereka saling mendukung dan melengkapi satu sama lain,” tambahnya.
Menurut Nugrahani, bahkan bentuk arca-arca dewi memiliki ukuran sama besar dengan arca para laki-laki. Begitu pula mereka mengenakan atribut yang sama. Ini menunjukkan bahwa mereka dipandang setara pada era dimana arca tersebut berasal.
“Laki-laki dan perempuan digambarkan memakai pakaian yang sama. Kecuali dia berbeda status sosialnya,” tambahnya.
(*) Artikel ini juga sudah pernah dimuat di Majalah Femina - September 2019
Comments