Gaung kesetaraan gender telah menginspirasi banyak perempuan untuk berani berekspresi dan memecahkan langit-langit kaca. Namun kita tak dapat menutup mata, karena masih banyak di antara kita yang menganggap sesama perempuan sebagai ancaman yang perlu dilawan.
Alih-alih merasa harus saling sikut menyikut, bisakah kita saling berpegangan tangan untuk menuju puncak bersama?
Shera Rindra Mayangputri, seorang aktivis perempuan yang aktif menginisiasi program edukasi kesetaraan gender, menyayangkan bahwa pertemanan yang positif antara perempuan (sisterhood) di Indonesia belum terbangun dengan baik. Jika dilihat secara mayoritas, pertemanan antar perempuan masih dipahami dalam bentuk ‘geng-gengan’, berkumpul untuk seru-seruan, dan banyaknya tuntutan untuk saling sama. Misal, jika ada salah satu anggota yang tidak suka pada seseorang, maka yang lain merasa harus ikut memusuhi orang tersebut. Jika tidak, maka akan dikucilkan.
Menyedihkannya, jenis pertemanan seperti ini sudah terbentuk bahkan sejak di bangku sekolah, dimana masih sering terjadi penindasan yang dilakukan oleh sekelompok siswa perempuan pada siswa lainnya.
“Entah karena persaingan, kecemburuan, senioritas atau hanya sekadar ingin merundung saja,” keluh Shera.
Contoh lainnya juga pada kelompok ibu-ibu arisan, yang memiliki suami yang bekerja di tempat yang sama dan lain sebagainya. Pada ranah yang lebih luas, victim blaming masih banyak terjadi dan justru paling banyak dilakukan oleh sesama perempuan itu sendiri.
Kecenderungan persaingan negatif memang memiliki jejak yang panjang, sehingga sulit untuk mengubah kebiasaan tersebut seperti halnya membalikkan telapak tangan. Dan hal ini erat kaitannya dengan tuntutan dari standar kecantikan hingga posisi yang tersubordinasi.
“Mayoritas perempuan dibesarkan dengan pola pikir bahwa ia harus cantik, cakap pada urusan domestik, atau lebih hebat dari perempuan lain. Kita pun seringkali dibanding-bandingkan dengan perempuan lain sedari kecil. Secara tidak sadar, terbentuklah rasa bersaing pada perempuan lain, perasaan insecure, kurang percaya diri, tidak percaya pada perempuan lain, dan lain sebagainya,” tutur perempuan yang pernah membuat acara Embracing Positive Sisterhood pada tahun 2016 lalu ini.
Belum lagi perempuan sering disuguhi dengan cerita-cerita seperti dalam film Mean Girls atau acara The Bachelor, dimana persaingan sengit yang tak jarang harus saling menjatuhkan sebagai sesuatu yang biasa atau keren. Dalam alam tak sadar akan membuat perempuan untuk terus bersaing dengan sesama perempuan.
Bahkan, secara naluriah membentuk diri perempuan untuk terus bertahan, karena posisi yang sudah tersubordinasi dari laki-laki, maka kita enggan untuk tersubordinasi dari perempuan lainnya. Belum lagi perempuan juga terbentuk untuk melihat dan menilai segala sesuatu dari sisi luar saja.
Di sisi lain, dalam dunia karier, perempuan tidak memiliki akses yang sama seperti para laki-laki pada banyak bidang.
“Ruang yang terbuka hanya sedikit, sehingga persaingannya pun menjadi sengit,” tutur Shera.
Ia menilai bahwa seharusnya akses dalam berkarya terbuka bagi siapa saja, tanpa memandang gender dan berharap persaingan positif untuk meraih sebuah posisi atau prestasi tertentu bisa tercipta. Memang disayangkan, perempuan tidak pernah diajarkan relasi antar perempuan yang positif, suportif dan empati.
“Sehingga, yang menyebabkan sisterhood tidak terjadi pada banyak perempuan adalah budaya kita sendiri. Dan ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi di belahan dunia lainnya,” tambah Shera.
(*) Artikel ini pernah dipublikasikan di Majalah Femina - April 2018.
Comments