top of page
Gambar penulisCitra Narada

Lingkaran Setan Sampah Makanan

Diperbarui: 12 Sep 2020




Siapa di antara kita yang kerap menganggap bahwa menyisakan sedikit makanan di piring tak akan membuat ‘bumi runtuh’? ‘Toh cuman sedikit’.Begitu biasanya kita berpikir ketika menyisakan makanan karena kekenyangan atau karena tak ingin menghabiskannya. Atau ketika masak makanan di rumah terlalu banyak, membuatnya harus berakhir di tong sampah.


Namun, bayangkan jika semua orang berpikir demikian. Jika 240 juta warga Indonesia menganggap bahwa makanan yang mereka sisakan hanya ‘sedikit’, maka tentu jika dikumpulkan akan jadi banyak juga. Hati-hati, pemikiran seperti ini bisa jadi bumerang. Tanpa disadari, hal-hal yang kerap kita anggap remeh temeh ini turut membuat bumi perlahan demi perlahan semakin sekarat.


Di antara 87 juta ton sampah makanan yang berakhir di TPA di Indonesia, sekitar 60 persennya berasal dari rumah tangga, dan 15 persennya dari pasar tradisional. Angka-angka tersebut bukanlah angka yang kecil, sehingga sepatutnya mampu membuat kita semua khawatir.


Terlebih lagi, saat ini ketersediaan mesin pengolah sampah makanan menjadi energi terbarukan masih terbilang minim di Indonesia. Maklum saja, mesin-mesin seperti ini nilainya sangat mahal.


Kendati demikian, menurut Dr. Ir. Lawin Bastian, Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama Teknik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang juga pernah melakukan penelitian tentang pengelolaan sampah, bahwa buruknya pengelolaan sampah makanan bukanlah karena masalah teknologinya.


“Jika dilihat dari akar masalahnya, justru yang menyebabkan hal ini adalah karena social behavior masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi makanan. Pola konsumsinya tidak efisien. Berlebihan, padahal yang dibutuhkan sedikit,” paparnya.


Hal ini erat kaitannya dengan budaya makan orang Indonesia yang suka makan dengan banyak lauk, sehingga kerap menyisakan makanan.


“Atau dengan kata lain, orang Indonesia itu suka ‘lapar mata’. Banyak maunya, tapi sebenarnya yang sanggup dimakan hanya sedikit,” tambah Dr. Lawin. Salah satunya juga termasuk budaya jamuan makanan yang berlebihan di acara pernikahan pun menjadi salah satu alasan tingginya angka sampah makanan yang terbuang di Indonesia.


Astrid Paramita, Co-Founder Food Cycle, organisasi non-profit yang mengatasi masalah sampah makanan dan kelaparan, melihat masalah ini dari perspektif yang lain. Ia beranggapan bahwa kemudahan masyarakat dalam mendapatkan makanan era kini membuat rasa menghargai terhadap makanan semakin rendah.


“Sesederhana, kita tinggal bukan handphone, pesan makan online, langsung sampai. Padahal dulu, orang untuk bisa makan butuh usaha yang panjang. Harus tanam dulu, sabar menunggu hingga panen, barulah diolah menjadi makanan. Sehingga orang dulu sangat menghargai makanan, berbeda dengan sekarang,” cerita Astrid.


Pandangan ini juga diamini oleh Dr. Lawin yang melihat bahwa ada proses yang panjang agar makanan itu bisa sampai di tangan setiap orang. Menurutnya, banyak orang yang mengabaikan tentang kerja keras dan upaya bagaimana sumber makanan tersebut bisa diolah, sehingga akhirnya tidak dihargai dan dibuang begitu saja. Dan pada akhirnya, makanan yang dibuat tersebut merusak alam dan memengaruhi kehidupan manusia juga.


Masalah sampah makanan ini seperti lingkaran setan. Sampah makanan yang tak dikelola dengan baik akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan tersebut pun akan berdampak pada sulitnya ketersediaan pangan bagi manusia. Jika kebutuhan pangan sulit terpenuhi, pada akhirnya manusialah yang akan kelaparan. Dan bukan hal yang mengejutkan jika masalah ini akan terus berulang jika tak segera diatasi.


Menurut Hana Nur Aulina, Communication Marketing dari Waste 4 Change, sebuah perusahaan sosial yang mengelola sampah, mengatakan bahwa sebenarnya, sampah makanan tak sepenuhnya buruk bagi lingkungan. Pasalnya, sampah makanan akan sangat menguntungkan bagi manusia jika dimanfaatkan sebagai pupuk alami, pakan ternak hingga energi terbarukan. Hanya saja, sampah makanan menjadi momok yang menakutkan karena sebagian besar masyarakat kita tidak tahu bagaimana cara memperlakukannya.


“Sampah makanan tuh punya banyak manfaat yang baik untuk alam dan kehidupan kita. Dengan catatan, hanya jika sampah makanannya membusuk dengan cara yang alami. Sayangnya, masyarakat Indonesia punya kebiasaan membuang sampah makanan yang disimpan di plastik atau tercampur dengan sampah non organik lainnya, yang justru berbahaya bagi lingkungan,” jelas Hana.

Sederhananya, sampah organik yang membusuk dalam keadaan tanpa oksigen (anaerobic) dapat menghasilkan gas metana yang buruk bagi perubahan iklim.


Banyak pakar dari berbagai belahan dunia percaya bahwa mengatasi masalah sampah makanan tak hanya menangani persoalan kelaparan, tapi juga akan menyelamatkan bumi. Bahkan lebih dari 70 triliun gas penyebab efek rumah kaca dapat dicegah terlepas ke atmosfer. Ini adalah kemungkinan terbesar yang bisa kita lakukan bersama untuk berkontribusi mengatasi masalah sampah makanan, sekaligus memberi makan lebih banyak orang, meningkatkan manfaat ekonomi dan melestarikan ekosistem yang kini kian terancam.

Mengeluhkan masalah sampah makanan yang kian menggunung tak akan membuahkan hasil yang baik tanpa aksi nyata. Sejumlah negara melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi sampah makanan semaksimal mungkin. Misalnya negara Prancis memiliki kebijakan yang melarang supermarket untuk membuang makanan ke TPA.


Sementara itu Jepang sangat terkenal dengan kedisiplinannya soal pemilihan sampah. Truk pengangkut sampah tak akan mengangkut sampah-sampah yang tercampur antara organik dan non-organik. Pemerintah pun menuntut warganya untuk melakukan pemilahan sampah langsung dari rumah tangga.


Bagaimana dengan di tanah air? Suka atau tidak, Indonesia adalah salah satu negara yang terbelakang soal pengelolaan sampah makanan. Bahkan menurut Dr. Lawin, sejauh ini pemerintah tak punya kebijakan yang spesifik membicarakan masalah sampah makanan.


“Lebih mengatur tentang sampah secara umum. Tidak spesifik ke sampah makanan,” jelasnya.


Kendati demikian, tak lantas kita harus memutuskan harapan akan perbaikan dalam pengelolaan sampah makanan. Karena tentu saja untuk mengatasi masalah ini, tak harus selalu bergantung pada pemerintah. Masyarakat juga perlu berkontribusi untuk mengatasinya. Karena, kita yang melakukan, kita juga yang bertanggung jawab, kan?


Kini, mulai banyak pihak yang menaruh perhatian besar pada isu sampah makanan yang perlu kita apresiasi. Seperti Food Cycle, Waste 4 Change, serta beberapa organisasi lainnya di seluruh tanah air, yang telah berkontribusi mengurangi sampah makanan.


Bahkan, baru-baru ini Dinas Lingkungan Hidup Jakarta mengadakan Jakarta Less-Waste Restaurant Challenge 2019 yang dimulai pada Mei hingga November tahun ini. Acara ini memberikan training, counseling dan kompetisi untuk mencari pebisnis kuliner yang inovatif dalam mengolah dan terbanyak mengurangi sampah mereka, termasuk sampah makanan. Ini sejalan dengan program Jakarta Less-Waste Initiative yang mana salah satu tujuannya untuk mengurangi sampah makanan di ibukota.


Lantas, apa yang bisa kita lakukan sebagai individu? Menurut Dr. Lawin, kunci penting terletak pada perubahan gaya hidup.


“Kita tuh makan untuk sehat, bukan makan untuk kekenyangan. Kalau kita makan untuk sehat pasti secara otomatis akan mengikuti perilakunya jadi lebih efisien dalam mengonsumsi makanan, sehingga tidak berlebihan,” saran Dr. Ir. Lawin tentang bagaimana mengurangi sampah makanan.


Maka dari itu, perencanaan berbelanja makanan bisa jadi langkah penting yang dapat kita lakukan. Karena, menurut riset oleh University of Arizona tahun 2014 berjudul Shop More Buy Less, cara kita berbelanja dapat berpengaruh besar terhadap kontribusi sampah makanan. Untuk mengatasi hal ini Dr. Lawin menyarankan untuk membeli yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan.


Mengatasi masalah sampah makanan di tanah air tentu tak bisa seperti membalikkan telapak tangan. Kendati demikian, Dr. Lawin percaya bahwa hal ini bukanlah hal yang mustahil dilakukan.


“Kita hidup dengan sampah makanan yang sangat besar dan tidak efisien. Langkah terkecil adalah mengubah perilaku dengan cara-cara preventif. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah dimulai dari kita, dari rumah tangga,” cetusnya.





(*) Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Femina - Juli 2019.

4 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page