top of page
Gambar penulisCitra Narada

COVID-19 Datang, Antibodi Siap Melawan?


Dok. Rawpixel


Senjata Melawan Virus

Selama nyaris setahun COVID-19 hadir di sekitar kita dan melaksanakan protokol kesehatan, kita semakin sadar bahwa sistem kekebalan tubuh sangat penting di tengah situasi genting. Ini membuat banyak dari kita jadi lebih memperhatikan kesehatan, melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kekebalan tubuh, mulai dari aktif berolahraga, berusaha mengkonsumsi multivitamin atau makanan yang mendukung daya tahan tubuh.


Bukan tanpa sebab. Pasalnya memang, kekebalan tubuh menjadi kunci kesembuhan dari virus. Sistem imun akan menangkal zat asing yang masuk ke dalam tubuh dengan menghasilkan zat untuk menghancurkannya, yang disebut antibodi, agar bisa menjaga keseimbangan fungsi tubuh. Antibodi berperan sebagai benteng pertahanan untuk melindungi tubuh dari ancaman virus, bakteri, kuman, dan zat-zat penyebab penyakit infeksi.


Dari penelitian Oxford diketahui bahwa semakin banyak antibodi yang dimiliki seseorang, semakin kecil peluang mereka terinfeksi. Selain itu, antibodi atau kekebalan tubuh yang sudah terbentuk dari jenis virus corona lain juga dapat melindungi dari COVID-19. Dari penelitian yang diikuti lebih dari 12.000 tenaga kesehatan, yang 11.000 orang di antaranya teruji negatif untuk antibodi COVID-19, diketahui bahwa antibodi terbentuk selama infeksi virus, mencegah virus masuk ke dalam sel tubuh dan menyerang sistem kekebalan tubuh.


Di antara mereka yang tidak memiliki antibodi pada awal studi, 89 orang di antaranya mengalami infeksi simtomatik yang dikonfirmasi oleh tes swab. Sedangkan di antara mereka yang memiliki antibodi spesifik virus corona, tidak satupun yang mengalami infeksi simtomatik selama jangka waktu studi.


Ada tiga orang yang mengalami infeksi COVID-19 asimtomatik meskipun hasil tes antibodinya positif, dibandingkan 76 orang dalam kelompok yang tidak memiliki antibodi. Namun tak satupun dari tiga orang itu yang menjadi sakit.


Temuan lain, menunjukkan hasil yang menarik. Dari penelitian lintas institusi di London, Inggris, bertajuk Pre Existing and De Novo Humoral Immunity to SARS-CoV-2 in Humans, beberapa orang mungkin memiliki antibodi COVID-19, meskipun mereka tidak pernah terkena virus tersebut.


Dari 300 sampel darah yang diteliti, sekitar 5 persen orang dewasa memiliki antibodi yang akan mengenali SARS-CoV-2, meskipun mereka tidak terkena flu saat pengambilan darah. Dan sekitar 7 persen orang dewasa yang baru saja terserang flu memiliki antibodi yang serupa. Hampir setengah dari anak-anak yang terlibat di penelitian ini memiliki antibodi yang dapat mengenali SARS-CoV-2.


“Hasil kami menunjukkan bahwa anak-anak jauh lebih mungkin memiliki antibodi reaktif silang ini daripada orang dewasa. Namun diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami mengapa ini terjadi,” papar Kevin Ng, salah satu peneliti dari Francis Crick Institute yang terlibat dalam penelitian tersebut. Pasalnya, kendatipun antibodi mengenali virus tersebut, tidak berarti akan melawannya.

Antibodi Bisa Menghilang?

Begitu banyak hal telah berubah sejak kasus pertama COVID-19 terjadi di Indonesia pada Maret awal tahun ini; mengenakan masker, rajin mencuci tangan dan jaga jarak menjadi bagian dari norma kehidupan baru kita sehari-hari. Namun, pandemi yang telah berlangsung selama lebih dari 10 bulan di tanah air ini masih menyisakan pertanyaan besar. Hingga kini, tak benar-benar ada hal pasti yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kompleks tentang virus ini dan bagaimana mengatasinya.


Para ilmuwan yang berjibaku di laboratorium untuk menemukan jawaban, masih diselimuti kebingungan tentang antibodi - yang dianggap bisa menjadi senjata melawan virus corona - yang ternyata terus berubah seiring dengan semakin ganasnya COVID-19.


"Ini adalah penyakit yang kompleks sehingga ahli imunologi saja tidak dapat sepenuhnya mengetahui semua tentang itu," kata Christine Bishara, seorang dokter penyakit dalam dan pendiri From Within Medical di New York.


Bagaimana tidak? Harapan infeksi COVID-19 akan memicu antibodi yang memberi perlindungan dalam jangka waktu yang lama, nyatanya harus kandas. Dalam beberapa temuan dari penelitian di sejumlah negara, diketahui bahwa antibodi terhadap virus corona dapat menurun efektivitasnya dan menghilang dengan cepat, terutama pada orang yang memiliki kasus COVID-19 ringan. Ada penelitian yang mengatakan bahwa antibodi hanya bisa bertahan dalam waktu 3 bulan, 5 bulan, setahun dan lain sebagainya.


Hal ini pun dijelaskan oleh Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K), dokter spesialis paru RS Umum Pusat Persahabatan dan Satgas Waspada dan Siaga COVID-19 PB IDI tentang seberapa parah gejala COVID-19 turut memengaruhi terciptanya antibodi dalam tubuh.


“Kalau Anda sakit COVID-19 dengan gejala klinis yang ringan atau tanpa gejala, jumlah antibodi yang terbentuk sedikit. Dan kalau gejalanya kritis, jumlah antibodinya cukup banyak sehingga ada rentang waktu bertahan antara 3-12 bulan. Maka semakin banyak antibodi, semakin lama dia akan hilang,” jelasnya.


Karena adanya kemungkinan antibodi menghilang setelah beberapa waktu, maka turut pula membuka peluang pasien yang sudah sembuh COVID-19 untuk kembali tertular SARS-Cov-2.


“Setelah antibodi menghilang dalam waktu tertentu, ada kemungkinan terjadi reinfection. Oleh sebab itu, walaupun sudah sembuh, tetap harus menjalankan protokol kesehatan agar bisa terhindar dari tertular ulang,” tambah dr. Erlina.

Teori yang lain, dikemukakan oleh Christine Bishara, bahwa mungkin orang yang telah terinfeksi kembali virus corona, kemungkinan besar tidak pernah pulih. “Ketika orang sakit lagi setelah enam minggu atau dua bulan, itu adalah virus dan infeksi awal yang sama, yang bertahan lebih dari 10 hari,” jelas Christine.


Ditambahkan olehnya bahwa ketika kekebalan tubuh bereaksi terhadap virus, T cell akan mengingat kemungkinan kasus infeksi ulang yang akan terjadi di masa depan. Sehingga jika tubuh dihadapkan dengan virus itu kembali, tubuh kita bisa mengenalinya dan tahu bagaimana menanganinya.


Selain itu, tak hanya ancaman reinfeksi saja yang bisa membayang-bayangi kita semua, bahkan menurut penelitian dari Emory University mengatakan bahwa pasien COVID-19 bisa memiliki antibodi autoreaktif. Antibodi itu tidak melawan infeksi virus corona, tapi justru menyerang kesehatan tubuh pasien.


Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah pasien (total 52 pasien) yang terlibat dalam penelitian positif memiliki autoantibodi. Sebelumnya, pasien-pasien tersebut tak memiliki riwayat penyakit autoimun. Matthew Woodruff, penulis penelitian, mengatakan bahwa dua per tiga pasien dengan jumlah protein c-reactive tertinggi memproduksi antibodi yang menyerang jaringannya sendiri.


Memang, perlu ada penelitian lanjutan dengan skala lebih besar untuk menegaskan anomali dari segala temuan-temuan terkait antibodi COVID-19 ini. Namun, temuan awal pada sejumlah penelitian yang dilakukan banyak ilmuwan di seluruh penjuru dunia, mengindikasikan bahwa gelombang kedua infeksi masih sangat mungkin terjadi.


Vaksin Salah Satu Solusi Terbaik

Semakin kesini kita pun semakin realistis, bahwa COVID-19 tak akan serta merta hilang dan keadaan kembali normal dalam waktu yang singkat. Pun, jika hanya mengandalkan antibodi alami yang terbentuk di tubuh pasien yang sembuh SARS-CoV-2 juga tak memungkinkan.


Maka untuk percepatan pemulihan pandemi, ragam cara dilakukan para ilmuwan, salah satunya lewat vaksinasi. Kemampuan vaksin membentuk kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit tertentu seperti COVID-19, membuatnya menjadi alat paling efektif mencegah penularan.


Seperti kata Prof. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K), Ketua Indonesia Technical Advisory Group on Immunization bahwa vaksin adalah cara yang efektif bagi suatu populasi untuk mencapai herd immunity.


“Ini adalah konsep bahwa pandemi akan berakhir setelah sekitar 60-70 persen orang kebal terhadap SARS-CoV-2,” papar Prof. Sri menambahkan.


Ditambahkan olehnya bahwa selain untuk mencapai herd immunity untuk mencegah dan melindungi kesehatan masyarakat, dengan melakukan vaksinasi diharapkan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat COVID-19 serta melindungi dan memperkuat sistem kesehatan secara menyeluruh.


Saat ini sudah sedang dilakukan uji klinik fase tiga vaksin COVID-19 di Indonesia oleh Bio Farma dengan Sinovac, yang bekerja sama dengan Tim Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Adapun uji klinis ditargetkan akan selesai pada Januari 2021, yang kemudian akan dievaluasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).


Menurut Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, Sp.PD, KAI, FINASIM, Satgas Imunisasi Dewasa PAPDI, ada beberapa indikator untuk vaksin yang ideal. Vaksin harus imunogenik (mampu merangsang sistem imun), memberikan perlindungan jangka panjang, aman, stabil dalam kondisi di lapangan, dapat diberikan secara kombinasi, cukup diberikan dengan sekali dosis, dan tentunya terjangkau serta dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.


Prof Iris pun berharap bahwa vaksin yang akan diimunisasikan secara massal ke masyarakat Indonesia ini akan memenuhi itu semua, hingga harapan untuk bisa memulihkan diri lebih cepat dari COVID-19 dapat terwujud.




(*) Artikel ini juga sudah dipublikasikan di Majalah Femina No.08.

3 tampilan0 komentar

コメント


bottom of page