Mantan jurnalis asal Colorado, Amerika Serikat, Susan Skog, menunjukkan kesimpulan yang tidak menyenangkan dari hasil penelitiannya terhadap 35 perempuan lintas profesi yang telah ia wawancarai selama kariernya.
“Penindasan, saling menghalangi dan diskriminasi antar perempuan telah membuat banyak perempuan justru menjauh dari kesuksesan. Bayangkan, jika kita saling mendukung, pasti lebih banyak lagi perempuan yang sukses saat ini,” tuturnya yang juga menulis hasil penelitiannya tersebut dalam buku Mending the Sisterhood & Ending Women’s Bullying (2015).
Ironis memang. Di satu sisi kita mengapresiasi ketika ada seorang perempuan yang sukses dan menembus langit-langit kaca. Namun sayangnya, di dalam proses mencapai kesuksesan tersebut, para perempuan merasa harus terlibat dalam perang yang sengit.
Jeleknya, menurut Vina G. Pendit, principal consultant dari Daya Dimensi Indonesia, sebuah perusahaan konsultan karier, kadang para perempuan supaya bisa mendapatkan kebahagiaan atau kesuksesan merasa harus merendahkan orang lain terlebih dahulu.
“Tanpa kita sadari, ketika kita melakukan hal itu, kita mengumpulkan energi negatif. Beda perasaan ketika kita membantu sesama perempuan lainnya, pasti kita merasa bahagia dan bangga karena kita telah melakukan hal yang baik, sehingga energi positifnya juga kita rasakan. Sementara ketika kita melakukan hal yang buruk, energi negatifnya juga kena ke kita,” tuturnya.
Untuk menghilangkan energi negatif tersebut, kita perlu jeli dalam melihat lingkungan di sekitar kita. Siapa saja orang-orang yang melemahkan (disempowering) dan siapa teman-teman yang justru memberdayakan (empowering) kita.
“Orang-orang disempowering biasanya tidak pernah komentar positif, melihat yang kita lakukan hanya dari sisi yang jeleknya saja, selalu mengkritik, menusuk dari belakang dan tidak pernah mendukung apa yang kita lakukan,” papar Vina menyarankan.
Pasalnya, jika kita terjebak dalam lingkungan yang saling menjatuhkan, akan membuat kita (1) catastrophizing, yaitu suka membesar-besarkan masalah.
“Misal kita menceritakan masalah pada teman yang disempowering, bukannya membantu menemukan solusi, dia malah menyulut emosi. Masalah yang sebenarnya kecil, menjadi besar karena disulut oleh orang yang suka disempowering,” tutur Vina.
Selain itu, hati-hati berada di lingkungan yang salah, akan membuat kita cenderung (2) avoiding. Teman-teman yang disempowering bukannya membantu kita menghadapi masalah, mereka justru akan mengajak kita lari dari masalah.
“Hal ini membuat usaha kita untuk sukses dan bahagia jadi lebih susah. Di kondisi seperti ini, positive sisterhood tidak akan terjadi,” jelas Vina mengingatkan.
Sisterhood yang positif dimulai ketika kita dikelilingi oleh orang yang benar-benar mendukung, maka kita harus mengeliminir orang-orang yang disempowering. Pilih mana orang-orang yang perlu make it closer (teman yang empowering), dan mana yang hanya just a friend (mereka yang disempowering).
Dituturkan Vina, setelah kita berada di dalam lingkungan yang memberdayakan, kita jadi bisa melakukan hal yang amplifying.
“Karena kita terbiasa berada di dalam lingkungan yang saling mendukung, kita jadi bisa menyebarkan semangat positif lebih luas terhadap perempuan-perempuan lain,” tambahnya.
Vina menyontohkan, misal ibu A menceritakan kepada ibu B tentang anaknya yang memenangkan kompetisi renang. Daripada harus lelah hati karena iri atau membandingkan dengan prestasi anak ibu A dan berambisi untuk membuat anaknya lebih sukses, lebih baik memberikan selamat kepadanya atas keberhasilan si anak. Tanya pada ibu A bagaimana cara agar anak lebih aktif berkegiatan di sekolah dan tak segan-segan menceritakan berita baik tentang anak ibu A pada orang lain.
“Itulah amplifying. Kita tidak harus merasa orang lain adalah saingan kita, karena setiap orang memiliki area kelebihannya masing-masing yang tidak sama. Kita cari kelebihan kita dan maksimalkan,” sarannya.
Menurut Vina, penting bagi para perempuan untuk mendesain kesuksesannya sendiri, bukan karena orang lain.
“Karena biasanya, definisi sukses kita karena orang lain, bukan diri sendiri. Misal, kita merasa akan sukses atau bahagia jika suami begini, atau jika anak begitu atau jika sudah mengalahkan si A dan lain sebagainya. Pernahkah kita merancang kesuksesan atau kebahagiaan karena diri kita sendiri?” ujar Vina.
Definisi sukses yang kerap dikaitkan dengan orang lain, membuat kita mudah iri, tersaingi atau suka membanding-bandingkan apa yang dilakukan oleh orang lain.
“Ukuran kesuksesan atau kebahagiaannya mengikuti standar orang lain, sehingga ketika kita merasa tersaingi,” pungkasnya mengingatkan untuk tidak mendefinisikan sukses tergantung pada orang lain dan menerima dirinya sendiri dengan bahagia
“Ketika perempuan merasa bahagia dengan dirinya sendiri, tidak akan ada keinginan untuk menjatuhkan orang lain, apalagi sesama teman perempuannya. Mereka justru akan sangat mendukung,” tutur Vina.
Tapi ingat, kita jangan sampai terkunci dengan pemikiran bahwa sukses hanya jika perempuan itu berkarier dan bisa mencapai puncak.
“Berkarier atau tidak, atau hanya menjadi ibu rumah tangga saja pun kita tetap bisa mencapai kesuksesan. Tinggal, bagaimana kita mendefinisikan kesuksesan tersebut,” ujar Vina lagi.
Fakta tentang masih banyaknya perempuan yang menganggap bahwa budaya saling bersaing, menindas, dan mendiskriminasi sesamanya, menampar kita bahwa hal ini justru akan menghambat kesuksesan para perempuan itu sendiri. Seperti yang disampaikan Susan, tak pernah ada kata terlambat untuk menyatukan kekuatan dan saling mendukung demi kemajuan bersama. Dan setidaknya, ada tiga hal menurut Susan yang bisa kita lakukan untuk saling mendukung.
Pertama, terapkan zero tolerance terhadap bullying, bergosip, menindas dan mendiskriminasi orang lain. Karena sekali kita mengabaikan, akan selamanya kita membiarkan terjadinya saling menjatuhkan antar perempuan.
Kedua, sampaikan kata-kata yang positif dan belajar untuk mendengarkan ide dari perempuan lain, tanpa harus menghakimi dan mengacuhkannya. Jangan merasa terancam dengan gagasan brilian dari perempuan lain, kita justru harus mendukungnya.
“Ingatlah bahwa kata adalah alat paling kuat yang bisa kita gunakan untuk sebuah kebaikan. Gunakanlah kata-kata yang positif untuk mendukung sesama perempuan,” saran Susan.
Ketiga, hindari meredupkan pesona diri hanya dengan melihat, membandingkan dan mengukur dirimu dengan perempuan lain. Cintailah dirimu sendiri dan lakukan yang terbaik, maka Anda akan kehilangan minat untuk membandingkan diri dengan orang lain.
“Daripada buang-buang waktu saling bersaing, lebih baik perkuat bonding dengan sesama perempuan dengan saling membantu satu sama lain. Percayalah, dunia akan jauh lebih baik,” cetus Susan Skog.
Perempuan tidak akan bisa maju, jika di antara perempuan itu sendiri masih saling berkecamuk melawan satu sama lain. Inilah saatnya setiap perempuan saling berpegangan tangan erat, melangkah maju serentak dan meraih kejayaan bersama-sama. Karena ketika kita memberdayakan satu perempuan, kita akan memberdayakan semua.
(*) Artikel ini dipublikasikan di Majalah Femina - April 2018.
Comments