Penelitian perusahaan layanan kesehatan Cigna di Amerika Serikat (dirilis Mei 2018) menemukan bahwa gen Z masuk dalam generasi paling kesepian. Dalam penelitian terhadap lebih dari 20.000 responden dari berbagai generasi, ditemukan bahwa 48% gen Z memiliki skor indeks kesepian yang paling tinggi dibanding generasi-generasi lainnya.
Gen Z, menurut McCrindle Research Center, adalah mereka yang lahir setelah tahun 1995 sampai 2009. Generasi ini adalah mereka yang kini berusia 9 sampai 23 tahun. Lebih dari setengah responden gen Z mengalami 10 dari 11 tanda-tanda kesepian (menggunakan skala indeks kesepian dari Universitas of California, Los Angeles). Di antaranya adalah merasa orang-orang yang berada di sekitar mereka tak benar-benar ada (69 persen), merasa malu (69 persen) dan merasa bahwa tak ada yang bisa memahami mereka dengan baik (68 persen).
Dr. Doug Nemecek, Chief Medical Officer Cigna mengungkapkan, kesepian yang dialami anak-anak muda Amerika Serikat ini sudah pada kadar yang mengkhawatirkan, bahkan disebutkan sudah masuk dalam tahap epidemik karena bahayanya yang dapat mengancam kesehatan jiwa. Ini membuat masalah kesepian sebagai salah satu isu utama yang sedang ditangani oleh lembaga kesehatan nasional di AS.
Gen Z adalah digital native, lahir ketika teknologi sudah eksis dalam kehidupan mereka sehari-hari. Walau generasi milenial juga merasakan tahap awal revolusi digital, namun gen Z adalah generasi pertama dengan DNA digital yang seutuhnya. Mereka adalah generasi yang sudah pandai menggunakan layar sentuh, bahkan sebelum mereka bisa berjalan.
Teknologi, internet, dan media sosial adalah segalanya bagi mereka. Dengan satu ketukan di layar sentuh, gen Z dapat terhubung dengan siapapun dan menyerap informasi apapun yang mereka inginkan. Komunikasi suara dan tatap muka pun mudah terjalin hanya dengan satu perangkat yang ada di genggaman. Hanya saja, kemudahan-kemudahan ini tak lantas menjadi keuntungan. Karena, ternyata tersimpan tantangan berat yang justru harus diemban gen Z.
Connected to disconnected. Kalimat ini muncul untuk menggambarkan fenomena ketika seseorang sangat mudah terhubung dengan bantuan teknologi, namun tidak benar-benar merasakan komunikasi yang nyata. Dengan kata lain mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.
Pada penelitian Cigna memang tak menemukan korelasi antara internet dan media sosial dengan perasaan kesepian. Namun, hal ini dijawab oleh hasil penelitian University of Pittsburgh School of Medicine (UPSM). Penelitian tersebut menemukan, bahwa meningkatnya perasaan kesepian di abad ke-21 hingga 2 kali lipat ini erat kaitannya dengan era digitalisasi. Media sosial membuat kita merasa lebih terisolasi dan generasi muda memiliki teman dekat yang semakin sedikit.
“Secara alamiah, manusia adalah makhluk sosial. Namun di kehidupan modern ini, kita cenderung dikotak-kotakan ketimbang disatukan. Manusia menjadi seperti berada di dalam ruangan maya yang membuat mereka tak bisa bersosialisasi dengan nyata. Meskipun media sosial tampak seperti dapat menghubungkan manusia, namun nyatanya justru tak menjadi solusi komunikasi yang tepat,” papar Dr. Brian A. Primack, kepala peneliti UPSM.
Teknologi sebagai kambing hitam dari kesepiannya para gen Z memang hanya satu dari sekian penyebab. Namun, Ainun Chomsun, pemerhati literasi digital, melihat bahwa para gen Z menghadapi tantangan yang berat.
“Para gen Z seperti mendapatkan tantangan ganda. Di dunia online seperti di media sosial, mereka dituntut untuk tampil eksis dan sempurna. Sementara di dunia offline, mereka kesulitan menjalin hubungan karena lebih terbiasa berkomunikasi di dunia maya yang serba instan dan tidak intim,” papar wanita yang juga kerap memberikan literasi digital untuk orang tua di media sosial ini.
Hal inilah yang membuat mengapa gen Z menghadapi peer pressure yang lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya. Setidaknya, hal itu yang diamati oleh psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikolog Universitas Indonesia Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si. Dunia digital secara tidak langsung membuat gen Z hidup dalam algoritma. Seakan-akan semua hal berorientasi pada jumlah like dan follower di media sosial. Peer pressure bukan hanya datang dari lingkaran sosial terdekatnya, tapi juga dari orang yang tak dikenal.
Wanita yang akrab dipanggil Nina ini bercerita, ia kerap menemukan klien remajanya memiliki kekhawatiran terhadap apa yang mereka unggah di media sosial. Mereka khawatir jika unggahannya tak akan disukai atau mendapatkan sedikit ‘like’ dari follower-nya.
“Anak-anak ini seakan-akan membutuhkan sekali ‘like’. Ada rasa, ketika sedikit mendapatkan ‘like’ untuk aktivitas mereka di sosial media, mereka akan merasa jelek atau buruk. Jika mereka terus bergantung pada jumlah ‘like’ untuk merasa baik-baik saja maka hal ini adalah ketidakstabilan emosi,” jelas Nina. Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa tak semua gen Z mengalami hal ini, sehingga tak bisa digeneralisasikan.
Persoalannya, gen Z memiliki kecenderungan lebih besar untuk berinteraksi melalui teknologi dan media sosial dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
“Padahal, kalau kita runut lebih jauh, interaksi melalui media ini bersifat semu, bukan interaksi yang nyata. Bahkan, sering kali mereka berinteraksi dengan orang-orang yang tidak mereka tahu atau belum tentu benar identitasnya,” kata Nina.
Karena banyak menemukan orang-orang yang tidak memberikan identitas asli di media sosial, maka anak-anak berpikir bahwa mereka juga tidak harus menunjukkan personalitas yang sebenarnya. Secara tidak langsung, hal ini membuat seseorang tanpa sadar hidup dalam identitas yang semu.
“Interaksinya pun jadi semu dan tidak benar-benar ada kehangatan di dalamnya. Persahabatan juga tidak betul-betul terjalin dalam reaksi seperti itu, karena mereka sendiri tidak membuka diri sepenuhnya. Padahal untuk menjalin hubungan persahabatan dibutuhkan keterbukaan satu sama lain,” tambah Nina yang merasa bahwa penelitian Cigna menjadi masuk akal.
Secara psikologis, hal-hal ini rentan membuat orang lebih depresi. Minimnya kesempatan interaksi secara langsung dan nyata membuat kita tidak bisa merasakan hubungan yang hangat. Padahal, kehangatan interaksi bisa dirasakan dari komunikasi yang terjadi secara langsung.
“Dampaknya, depresi dapat membuat anak-anak cenderung menarik diri dari pergaulan. Mereka juga melihat dirinya buruk, gagal, tidak punya teman atau ditolak oleh teman,” papar Nina.
Berdasarkan penelitian Brigham Young University, Utah di AS menyamakan perasaan kesepian sama berbahayanya dengan merokok 15 kali dalam sehari, lebih buruk dari mereka yang obesitas dan meningkatkan kemungkinan kematian dini hingga 32 persen.
Sedangkan menurut ulasan jurnal Psychology Today berdasarkan ragam penelitian, perasaan kesepian memiliki dampak memengaruhi kesehatan jiwa. Terlebih, jika perasaan tersebut dirasakan oleh anak-anak, dapat menimbulkan banyak penyakit karena dapat mengacaukan sistem kekebalan tubuh sehingga berisiko terserang penyakit jantung, depresi hingga ragam gangguan mental yang berbahaya.
“Salah satu kasus terburuk jika anak tersebut mengalami depresi terselubung yang berat adalah timbul usaha untuk bunuh diri,” ujar Nina.
(*) Artikel pernah dipublikasikan di Majalah Femina - Oktober 2018.
Comments