Hampir semua lini kehidupan terpengaruh oleh hadirnya pandemi COVID-19. Tak terkecuali dunia public relation (PR) dan komunikasi yang turut berubah akibat virus corona ini. Segala pekerjaan harus dilakukan secara jarak jauh, sehingga kemampuan untuk menggunakan teknologi pun menjadi mandatori saat ini.
Jika biasanya komunikasi tatap muka menjadi salah satu kekuatan dalam ilmu kehumasan, sontak harus tergeser dengan keadaan yang tak memungkinkan banyak orang untuk bertemu. Hal ini pun, mau tidak mau, membuat praktisi PR sebagai komunikator perlu memperbaharui kemampuan berkomunikasi dan mengolah pesan yang dibawanya.
Untuk memetakan apa saja kemampuan yang perlu dimiliki oleh para praktisi PR dalam memasuki fase kenormalan baru ini, Femina berbincang secara virtual bersama Sari Soegondo (Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia), Rika Mayarasari (Founder R&R Public Relations) dan Mayang Schreiber (Independent Senior Advisor PR Consulting).
Dalam virtual talkshow bertajuk Adaptasi Skill untuk Praktisi PR di Era New Normal ini pun dapat diketahui beberapa skill yang perlu dimiliki oleh para praktisi PR dalam menghadapi perubahan situasi dan kebutuhan.
1. Crisis Communication
Kondisi pandemi ini menjadikan kemampuan komunikasi menghadapi krisis menjadi sangat krusial. Pasalnya memang, banyak perusahaan yang atau instansi yang menghadapi krisis massal dengan berbagai penyebab, sehingga membutuhkan bantuan para praktisi PR untuk mengomunikasikan hal ini pada audiens.
"Kita harus tahu strategi bagaimana punya solusi komunikasi yang baik untuk menyelesaikan business problem. Bukan hanya optics-nya saja untuk kelihatan bagus, tapi apakah apa yangkita lakukan bisa menyelesaikan business problem yang ada," tutur Mayang yang memang sudah berkecimpung di bidang crisis communication sejak lama.
Hal yang menurut Mayang juga perlu dipahami oleh para praktisi PR adalah tentang crisis preparedness. Yaitu menyiapkan suatu perusahaan untuk menghadapi krisis di masa depan. Mulai dari menyiapkan crisis manual, hingga crisis response team. Sehingga ketika terjadi krisis, mereka tahu apa yang harus dilakukan dan tidak panik dalam menghadapinya.
Melihat situasi pandemi ini, menurut Rika Mayasari, permintaan atas jasa komunikasi menghadapi krisis akan semakin banyak. Ini pun bisa menjadi peluang yang manis bagi para praktisi PR untuk bisa menguasai kemampuan ini.
2. Kemampuan Bernegosiasi
Seperti yang disampaikan oleh Rika Mayasari, bahwa terkadang tantangan juga hadir dalam relasi dengan klien yang mengaharapkan sesuatu dikerjakan dengan cepat. Dalam menghadapi situasi ini, kemampuan negosiasi pun jadi krusial.
"Kemampuan bernegosiasi menjadi sangat penting, tapi tentunya dengan cara yang humble. Jangan terlalu mengakomodir semua dan memaksakan kehendak, maka kemampuan negosiasi dan consultancy kita harus jalan," ujar Rika.
Hal ini juga diamini oleh Mayang Schreiber yang mengatakan bahwa sebagai praktisi PR juga harus bisa meyakinkan klien tentang apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak bisa dilakukan.
3. Kolaborasi dan Kerja Sama
Seperti yang diingatkan oleh Sari Soegondo bahwa pandemi COVID-19 membuat para praktisi PR memiliki sensitivitas yang lebih tinggi sehingga mendorong sesamanya untuk berkolaborasi.
"Di kondisi seperti saat ini, solidaritas dan kolaborasi jadi sangat penting. Teman-teman sesama praktisi PR tidak lagi malu untuk saling sharing inovasi, lebih senang untuk survive bersama-sama ketimbang takut inovasinya dicontek oleh orang lain," jelasnya.
Ini juga dipaparkan oleh Mayang bahwa kerja sama menjadi poin yang tak boleh dilupakan, terutama bagi PR independen.
"Walau kita bekerja sendiri (independen) bukan berarti tidak bekerja dengan orang lain. Justru kita harus bisa bekerja dengan lebih banyak orang."
4. Kemampuan Kerja Jarak Jauh
Masa pandemi COVID-19 menyadarkan kita bahwa kepiawaian menggunakan teknologi dan kemampuan bekerja jarak jauh menjadi sebuah mandatori.
"Yang perlu di-highlight adalah kemampuan kerja jarak jauh secara autonomous, tanpa mengorbankan kualitas, tanpa melupakan deadline, tanpa terkecoh dengan distraksi. Jadi kita harus plug and play dimana saja, harus bisa jalan dengan baik," jelas Sari Soegondo.
5. Memelihara Hubungan dengan Influencer
Di zaman yang serba digital seperti sekarang ini, hubungan PR tak lagi hanya dengan media saja, tapi juga dengan influencer-influencer yang banyak bermain di platform-platform media sosial.
"Karena tidak bisa dipungkiri pengaruhnya influencer itu cukup tinggi untuk brand," papar Rika. Sehingga penting bagi praktisi PR untuk membangun, menjaga dan membina hubungan yang baik dengan influencer.
6. Menyampaikan Pesan di Multi Platform
Menurut Rika Mayasari, saat ini para praktisi PR tidak hanya dituntut untuk bisa menyampaikan pesan melalui press release saja.
"Tapi juga bagaimana bisa menulis pesan di multi platform. Karena kita tidak bisa memindahkan press release ke media sosial. Pesannya mungkin sama, tapi gaya penulisannya harus disesuaikan platformnya."
7. Fokus pada Kemampuan Tertentu
Diingatkan oleh Mayang, sebagai seorang praktisi PR independen, kita tak perlu menguasai semuanya. Melainkan, kita perlu tahu keunggulan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang tersebut.
"Kita perlu tahu specific skill-nya itu dimana dan harus lebih fokus lagi. Misal, jika di corporate communication apakah bagus di strateginya, atau diimplementasinya, atau writing skill-nya, atau media relations?" tutur Mayang.
(*) Artikel ini juga sudah pernah dipublikasikan di www.femina.co.id.
Comments